Kamis, Agustus 13, 2009

Tentang Booming Intelektual (Muda) Muslim


Kerinduan terhadap sajian dakwah ala Nurcholis Madjid, untuk mengisi pengantar berbuka atau jelang sahur di Bulan Ramadhan ---via televise--- kembali hadir..
Sebagaimana terjadi di tiga atau empat tahun berselang.
Artikel ini adalah mengenang salah satu serpihan pemikiran beliau.


SELAGI menjadi aktivis HMI, buku-buku (Almarhum) Nurcholis Madjid adalah magnet dan kafein sekaligus. Seperti magnet karena mengundang selera baca, disebut cafein lantaran kalau belum baca maka susah tidur semalaman!

Meski mencerna dengan terbata-bata ---musababnya banyak peristilahan dan konsep Cak Nur yang sukar dimengerti--- terus dan baca terus. Terkadang oleh sebab gengsi. Di lain sisi, juga jadi “modal” bergaul dengan senior yang fasih (sic! jangan-jangan mereka juga semata retorika). Tapi ada juga beberapa pesan beliau yang terngiang-ngiang bahkan hingga artikel ini diketik.

Dalam salah satu tulisannya, ia memperkirakan bahwa akan terjadi ledakan intelektual muda muslim. Tanpa berniat menyederhanakan, istilah intelektual di sini adalah orang-orang Islam Indonesia yang well educated. Katanya, akan banyak yang menjadi Doktor di berbagai disiplin ilmu. Kata “akan terjadi” itu mestinya sudah terwujud saat ini. Hitungannya: prediksi itu ditulis belasan tahun lalu, dan ia memperkerikirakan fenomena booming intelektual Muslim hanya butuh waktu satu setengah dekade saja. Agaknya memang benar. Hari ini saja, bila mengangkat kasus kawan-kawan HMI Cabang Manado, sudah banyak yang bergerak ke arah nubuat dari Sang Lokomotif Pemikiran Islam itu.

Polanya seolah mengikuti rumusan Cak Nur. Mereka muslim ---tentu saja, alumni HMI, masa sih Konghucu! Masih muda, itupun bila sepakat dengan definisi pemuda ala UMNO Malaysia, yaitu kisaran usia di bawah 50-an tahun. Tersebar di berbagai bidang ilmu. Kawan-kawan alumni HMI Manado, misalnya, ada yang mengambil program doktoral untuk studi Ilmu Komunikasi Antar Budaya (Basri Amien), Ekonomi Pembangunan (Amier Archam), Planologi (Beby Sintia), dan... Komunikasi Politik (yang terakhir ini baru mimpi, sebab S 2 saja belum, saya sendiri...he..he..he..).

Intelektual Gembel
Tentang bertambah banyaknya orang Islam Indonesia bergelar doktor, mengingatkan saya pada beberapa karya, masing-masing dari sebuah novel, satu buku dari seorang orientalis, dan sebuah proceeding dari hasil Seminar oleh salah satu lembaga donor dari Jerman (Frederich Nauman Stiftung). Pertautan ide booming Sarjana S 3 beragama Islam itu, membawa kabar yang (ternyata) agak mengkhawatirkan.

Novel Ketika Cinta Bertasbih, karya Habiburahman El Shirazy, menceritakan bahwa di Mesir adalah hal lumrah ketika menemukan supir Taksi bergelar doktor. Inipun bukan doktor abal-abal produk kampus antah berantah ---sebagaimana meruyak di Indonesia, biasanya ditambahi embel-embel honoris causa. Melainkan doktor sungguhan, malah lulusan dari kampus bergengsi sekaliber Al Azhar Kairo. Sayangnya si pengarang tak sempat mendetail rinci, akar musabab fenomena itu. Ia semata bertutur bahwa jumlah penduduk terdidik keluaran perguruan tinggi di Mesir sudah sangat banyak!

Dalam nada yang mirip tetapi bernuansa akademik, adalah telaah panjang dari Howard M Federspiel, dalam buku Labirin Ideologi Muslim (diterbitkan Serambi, Jakarta, 2004). Buku itu menulis kerumitan menciptakan stabilitas di negara-negara muslim Timur Tengah, salah satu faktornya adalah lapisan kelas menengah terdidik tetapi kurang mendapat akses ke dunia kerja ---lowongan PNS sudah penuh. Mereka adalah sarjana dari ilmu-ilmu humaniora dan agama. Oleh penulis buku, gejala ini disebut dengan lumpentintelectual (intelektual gembel). Menjadi warga yang kritis, berani, dan menjadi kekuatan signifikan dalam melakukan perlawanan politik. Tetapi kurang produktif dari aspek lain (semisal industri, ekonomi, dan teknologi).

Terdengar pahit, tetapi masuk akal. Mari buat perbandingan, rasio warga negara bergelar doktor dengan komposisi penduduk umum, ratting tertinggi diduduki Israel, ada 1 doktor per 1.000 penduduk. Tapi negara bentukan Deklarasi Belfour oleh zionis ini melesat dalam sains dan digdaya dari sisi ekonomi, karena para intelektualnya merata, cukup banyak berdisiplin eksakta, hingga menguasai perkembangan teknologi.



Religious Young Turks
Sebelum masuk ke buku ketiga, ada baiknya menyisipkan petuah dari mantan Presiden Habibie. Menurutnya, di Indonesia paling tidak saat ini dibutuhkan 25 ribu doktor dari disiplin ilmu eksakta (istilah ini untuk memudahkan kategori, karena belum tentu ilmu fisika, kimia, adalah eksak, ada juga celah kenisbiannya). Sudahkan kebutuhan ini tercapai? Jangan-jangan terlampau banyak doktor sastra....

Berlanjut ke buku Islam dan Barat, Demokrasi Dalam Masyarakat Islam, diterbitkan Yayasan Paramadina dan Frederich Nauman Stiftung, bertahun 2002. Literatur ini kian meneguhkan asumsi berbagai kalangan. Bahwa maraknya gerakan islam radikal secara intelektual disponsori alumni-alumni terdidik dari Mesir, Turki atau Timur Tengah lainnya. Mereka senyatanya orang-orang cerdas, dan memiliki idealisme yang diasah di kampus. Karya pustaka ini menyebut secara khas pengalaman PAS di Malaysia (partai oposisi, tetapi menang Pemilu di Kelantan dan Trengganu). Para ideolog dari PAS disebut dengan Religious Young Turks ---anak-anak muda religius yang menginginkan perubahan. Sebagaimana di Indonesia, mereka mengobarkan ide-ide tentang negara Islam dan mengkafirkan pemerintahan demokratis saat ini. Jika dilakukan secara patut, tak masalah. Beda jika akar-akar radikalisme ini mewujud dalam bentuk teror.

Anugerah
Kita harus berani menghitung. Ledakan tenaga bergelar doktor adalah anugerah, tetapi juga menyimpan potensi menjadi musibah.

Sebagai negeri yang giat melakukan perbaikan, sekaligus mengejar ketinggalan, tak mungkin jasa intelektual disia-siakan. Namun jelas harus dengan komposisi yang cocok. Setiap ilmu pasti punya medan aktualitas berbeda-beda. Pantas bila khawatir, kalau didikan berlatar humaniora terlampau besar sementara dari displin teknik-kimia-fisika justru kekurangan. Karena kita juga butuh sokongan engineer untuk mengembangkan teknologi, rekayasa genetika, farmasi, kedokteran, militer, sampai kedirgantaraan. Rugi kalau selalu harus mengimpor konsultan dari luar negeri.

Mudah-mudahan, booming intelektual Islam Indonesia menjadi akar tunjang bagi kemajuan tanah air. Dan bukan menyiram benih-benih radikalisme, terorisme….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar