Rabu, Mei 26, 2010

The Bright Side of Habibie


Taruhan! Anak-anak SD era 80-90an awal, dengan tegas menjawab ingin jadi Habibie ---ketika Bu Guru bertanya lembut apa cita-citamu? Sisanya bercita-cita jadi Insiyur, pilot, dokter, atau menteri (kalau tidak Habibie, ya, Harmoko). Ada sih, lagu tentang cita-cita jadi Presiden, tapi dari sebuah boneka kenes bernama Susan, dari mulut mungil Ria Enes.



Belakangan saja berubah. Ketika Billboard raksasa terang benderang menampilkan leher lenjang milik Luna Maya; di saat anak-anak TK fasih dengan ucapan cadel becyek nggak ada ojyeg; atau mungkin terbius dengan Harry Potter. Maka "Bu Gulu" terlongong-longong karena ada murid berniat menjadi penyihir!!!


Sssstttt, bukan cita-citanya yang berubah. Hanya ada penambahan: ingin jadi dokter yang kaya, insinyur yang kaya, pilot yang kaya, atau menteri yang kaya. Pokoknya kaya raya. Kalau perlu sekalian saja kaya dan beken. Tuhan, aku ingin jadi artis...



Maka tayangan terakhir tentang duka mendalam Habibie atas berpulangnya isteri tercinta seperti mengulang lagu lama yang pernah kita lupakan. Tentang sosok yang pernah menyingkirkan kerikil dalam sepatu bernama Timor Leste (dan ia harus mendapat cibiran kanan-kiri). Tentang konflik dengan pengagumnya yang bernama Jenderal Prabowo. Tentang pengakuannya yang berbunyi rada hiperbolik bagi aktivis mahasiswa era 98, bahwa Guru Besar dan Profesor Politik-nya adalah Soeharto. Catatan ini akan berisi seratusan kata tentang lagi, tapi cukuplah itu.



Kekaguman dan kedengkian mungkin berada dalam neraca yang seimbang terhadap sosok Burhanuddin Jusuf Habibie. Namun memang niscaya begitu bagi manusia-manusia berharkat tinggi.



Dan ia, satu dari sedikit tokoh bangsa yang memiliki kelengkapan nyaris paripurna. Teknokrat yang berhasil menerbangkan pesawat dengan teknologi Fly By Wire melalui CN 135; Ekonom yang melahirkan varian Habibienomic dengan kritik keras dari Rizal Ramli plus ITB Connections; seorang Presiden yang berhasil menelurkan begitu banyak Undang-Undang Pro Reformasi Pro Demokrasi; serta (yang ini juga perlu) mendorong kekuatan baru Islam Politik melalui ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).



Dengan agak menyesal, kita juga pernah menyaksikan betapa ia pernah dinista dengan ganas! Laporan pertanggung-jawabannya ditolak DPR RI, beberapa "brutus" menelikungnya dari belakang. Proyek IPTN perlaya dengan alasan salah urus dan overheating. Tragedi Kampus Atmajaya, yang disebut sebagai Insiden Semanggi Dua di zamannya. Lalu pelabelan (political labeling) secara negatif bahwa ia adalah The Golden Boys of Soeharto. Itupun, jika kita ingin menghindari penulisan kata Antek Orde Baru di depan namanya. Maaf saja, di kalangan non Islam, dengan nyaman orang menyebutnya sebagai Islam Garis Keras!



Lalu bangsa ini seperti termakan mitos Sysiphus, yang melakukan tindakan yang sama secara berulang-ulang.



Pencandraan terhadap seorang tokoh tersaput oleh kekaguman nyinyir atau malah penolakan buta. Susah menjadi hero dengan kondisi yang manusiawi ----bisa salah, bisa keliru. Biografi para tokoh di Indonesia adalah catatan sekelas Whos Who yang memetik sisi-sisi spektakuler sahaja. Pengenalan menjadi tak utuh. Hasilnya, kita abai bahwa orang seperti Habibie sekalipun adalah manusia yang bisa menangis tersedu-sedu. Seraya memiliki cinta mulia yang mungkin sebanding Rose and Jack dalam film Titanic. It's perfectly human.



Betapa Presiden SBY pun tak mampu mengangkat dagu, bertekuk karena berempati mendalam atas tangis Habibie. Juga hal yang sama tampak dari roman mendung-muram para pelayat. Kejam rasanya bila nurani tak haru, meski misalnya hanya melihat dari tayangan televisi.



Almarhumah Ibu Asri Ainun Habibie diberitakan mengalami operasi sebanyak dua belas kali. Sejak Maret lalau mengalami kondisi kritis. Penderitaannya tentu tak alang kepalang. Namun ia beruntung ---sangat beruntung, tepatnya--- memiliki seorang pria bermartabat. Setia menunggu dengan terus menerus membaca Al Quran. Seorang keluarga dekat menuturkan, Pak Habibie tak pernah sesaat pun berniat meninggalkan isteri tercinta yang tergolek lemah ----sepenting apapun agenda yang harus beliau ikuti. Baginya: mendampingi Isteri bukan lagi agenda, melainkan kewajiban (ter) penting. Sebagai laki-laki, saya lebih dari sekedar meneteskan buliran air mata kekaguman, tetapi juga malu. Malu karena sebagai manusia biasa (dan gagal pula) saja sering "menipu" isteri dengan alasan ba-bi-bu. Koran-koran menulis dengan ukuran hurup besar: "Saya (maksudnya Habibe) Lahir Untuk Ainun." Duhai, para perempuan se-Indonesia, berhentilah mengatakan bahwa semua laki-laki adalah sama...


Inilah sisi terang Habibie, The Birght Side of Habibie. Meskipun sayangnya kita terperangah justru di ujung kisah dua manusia terkemuka itu.



Mudah-mudahan sisi terang itulah yang paling bisa diterima dengan mudah. Bagi siapapun ---sejauh ia punya nalar sehat--- apa yang dilakukan Habibie terhadap Isteri tercinta adalah mengagumkan. Patut jadi oase di tengah kepengapan hidup yang menggelayuti republik. Di mata saya, Habibie juga ada cela. Mungkin juga bagi anda. Ia punya banyak kontribusi, seklaigus juga kekeliruan-kekeliruan. Meski memang di tangan seorang pemimpin, tak pernah ada kebijakan yang mampu memuaskan semua orang. Semoga saja, penentang Habibienomics, aktivis 98 yang anti Orde Baru, pengkritik IPTN, dan yang marah atas lepasnya Timor Timur, sedikit berkhidmat untuk seorang pria tua yang sedang berduka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar