Senin, Mei 10, 2010

Sri Mulyani: Between Brain Drain and Brain Gain


Mesin Google menerjemahkan brain drain sebagai hijrahnya para sarjana ke luar negeri. Tentu kalau mau diperinci dalam contoh kasus, sarjana yang nganggur di negerinya sendiri lalu hijrah ke negara orang untuk menjadi calo jemaah haji tak masuk kategori Om Google ini. Sebaliknya juga tak layak masuk hitungan, bila misalnya para Doktor dari Al Azhar pindah ke Asia Tenggara semata untuk memperbanyak “calon pengantin” bom bunuh diri.

Pindahnya Mbak Ani, siapa tahu menggerojok buhul kesadaran kita tentang sesuatu yang tak bisa disepelekan. Majalah Times, edisi September 2004, dan mengutip pernyataan pemerintah waktu itu, menyebut sekitar 85.000 warga Indonesia terdidik-terampil untuk bekerja di luar negeri. Pasti ada rupa-rupa alasan melatarinya.

Salah satunya menjadi lelucon segar. Pernah, seorang ahli biologi yang jika bekerja di luar mendapat fasilitas serba moderen, di Serpong sana justru mengganti botol kaca laboratoriumnya dengan botol aqua plastik. Atau ahli manajemen organisasi lulusan luar yang bekerja sebagai bawahan bupati yang tak tahu membedakan mana urusan kantor dan mana arisan keluarga. Jika begitu, mana tahan?

Sepakati saja, bahwa yang terjadi adalah hukum ekonomi. Alias perkara supply and demand saja, siap butuh siapa direngkuh. Tetapi juga bukan berarti harus masa bodoh. Negeri ini harus diurus benar-benar benar oleh orang yang benar. Jika yang tersisa adalah sisa, maka sepetak nusantara ini akan selalu ada di halaman belakang peta dunia.

Tetapi kasus pemanggilan mantan Direktur LPEM UI oleh Bank Dunia ini tak bisa dilihat melulu ekonomistik. Apalagi jika meletakkannya hanya dalam tatapan nasionalisme. Mari kita ke luar dari kebisingan dua kategori itu. Ibu Sri tidak sedang mengejar karir, atau berikhtiar menebalkan pundi-pundi pribadi. Saya khawatir, apa yang dilakukannya malah seperti olok-olok untuk para penyerang. Meskipun bila benar begitu, malah bagus. Agar mereka tahu diri.

Yang pasti, seperti para seniornya di bidang ekonomi, beliau selalu cool. Kalem terhadap berbagai hujatan. Beberapa hari lalu, ketika dicecar wartawan atas aksi Walk Out PDIP dan Hanura, Ibu Sri menjawab pendek: Alhamdulillah...

Selingan saja, meloncat ke yang dulu-dulu. Sri Mulyani pernah diolok-olok oleh sejawatnya (dalam profesi, maksudnya) sebagai Sarjana Text Book Thinking. Tak ragu saya sebut saja nama orangnya: Doktor Rizal Ramli. Padahal, media tak pernah bosan mengutip Direktur Econit itu, yang tak kalah text book-thinking-nya, pun di area non ekonomi dan keuangan. Bukankah terminologi sumire campaign, atau political moratorium , adalah keluar dari lisannya juga? Membingungkan juga bila kemudian para ekonomi dan analis keuangan tidak text book thinking. Sebab yang memakai parameter dari kitab primbon, hanya cocok untuk Gendeng Pamungkas atau Mama Laurent.

Sri Mulyani juga adalah sosok yang seperti bantal sansak di Sasana Tinju. Bisa dipukul kanan kiri atas bawah ---lagipula para peninjunya tak bakalan sakit, empuk malah! Jangan-jangan para penyerangnya memang hanya ingin berkeringat, lalu kebetulan butuh panggung untuk beraksi. Dalam tempo dekat, begitu Menteri Keuangan itu ngantor di AS, cerita mungkin agak berbeda. Butuh sedikit kapasitas intelektual untuk merecoki Sri Mulyani. Tak seperti kemarin dan beberapa waktu lalu. Cukup dengan recehan Rp. 50.000, berdemo, memaki kasar, membakar foto, dan mengcrop foto Sri Mulyani yang bertaring. Terkadang, melihat tingkah para pengkritik di jalanan pikiran menyembul rasa ngeri: orang besar sering diganggu orang-orang pecundang dengan cara-cara dungu...

Pantas saja Syaidina Ali Bin Abi Thalib pernah berpesan agar dalam salah satu doa kita menyelipkan permohonan agar selamat dari gangguan orang-orang bodoh!

Bila kemudian perlu melihat polah para ekonomi kita, rupanya rada-rada mirip. Bodiono kalem saja dan malah bikin nasi tumpeng ketika dicecar habis-habisan. Faisal Basri juga unik, ke mana-mana selalu pakai sandal, pun ketika rekeningnya tiba-tiba melonjak ratusan juta rupiah, tanpa ia minta atau tanpa perlu pura-pura menolak. Agak jarang para ekonom yang meledak-ledak! Apakah performa mereka juga memakai hukum besi ekonomi: hemat bicara, hemat gaya?

Barangkali juga ada kelas lain, couterpart yang memang punya bobot. Mereka (mungkin juga) bermodal pada azas teoritik dan kecemasan terhadap gurita kapitalis dan virus neolib. Tetapi bagi kebanyakan orang, bukan itu yang perlu.

Terakhir, mari melihat dalam tatapan yang kurang serius. Misalnya potensi dengki para politisi.

Pertama-tama adalah media showbiz kita, entah dalam drama politik, ekonomi, atau bahkan kebudayaan sekaligus, telah padat dengan beragam jenis corak-aliran. Di politik, mau kiri radikal ala PRD dulu, boleh. Mau berkoar mengumbar moralitas ala Preman Berjubah, juga silahkan. Mau tak bersuara malah lebih bagus. Pun dalam wilayah ekonomi. Semua mendapat kesempatan. Artinya, negeri ini telah berjalan pada pusaran yang bebas. Kompetisi dengan segala kompetitorsnya.

Berhentilah dengan semangat lama. Bahwa aliran liberal-kapitalistik selalu menang. Dalam kompetisi terbuka mereka tak bisa dirubuhkan. Karena mulai dari wasit, lapangan, hingga aturan main sudah sanggup mereka beli. Dunia sudah sedemikian ruwet. Bahkan negeri paling liberal-kapitalistik pun sudah mau berkompromi, dengan memasukan variabel dan faktor-faktor yang tidak dikenal dalam era liberalisme purba. Sekali lagi, ini soal kesempatan dan kemampuan tampil. Di sinilah kita lihat: panggung sempit dengan petarung bejubel. Harus ada yang tersingkir. Tersingkir dengan cara yang fair atau malah kasar.

Kalau hanya pribadi Sri Mulyani, tak ada kekhawatiran seujung kuku sekalipun. Ia pasti laku di mana-mana. Tetapi khawatirnya ini menjadi trend. Ingat, modal intelektual, seperti diungkapkan W. Bennet, adalah salah satu pemicu kebangkitan industri. Nah, jika jejak Mbak Sri diikuti rombongan lain yang kelasnya bagus, kapan industri kita bangkit?

Sri Mulyani, brain drain bagi bangsa sendiri, brain gain bagi negeri orang. Indonesiaku...

1 komentar:

  1. sedih lagi baca post ini...
    hmmm...
    terlalu banyak orang malas d negeri ini,,
    yang ingin mencari nama dengan menjatuhkan nama,,

    BalasHapus