Selasa, Mei 25, 2010

Uji Petik untuk Politik Gagasan Anas Urbanaingrum


Anas membayar kontan "elan vital" yang berdengung kian kencang. Itupun bila berkaca pada perang gagasan belakangan ini, yang nyaris berbunyi sebagai high call (permintaan tinggi) belaka, alias bargaining agar politisi muda memperoleh jatah. Bahwa sudah saatnya tampuk kepemimpinan berada di kalangan "para belia".


Belum-belum, kita bertubrukan dengan keruwetan definisi. Kamus Webster mengkategorikan kaum muda (youth) di kisaran 18-35, negara-negara persemakmuran sepakat merujuk pada usia seperti itu, juga UU Tentang Pemuda, yang belum lama disahkan. Istilah "para belia" tak lain adalah sebutan Pemuda di negeri jiran Malaysia, yang menyebut kaum muda adalah mereka yang berusia di bawah 50 tahun. Bila sedikit toleran, bolehlah Ketum Baru Partai Demokrat itu kita kategorikan sebagai pemimpin muda. Dari sisi usia, tentu saja.


At least, secara simbolik, Anas membayar tuntas: bahwa kaum muda bisa memperoleh apa yang diinginkan. Mur'uah (kehormatan diri) politisi muda terselamatkan....



Proposal Masa Depan
Tetapi persoalan menjadi panjang bila posisi Ketua Umum PB HMI era 96-98 itu diletakkan dalam locus kepemimpinan politik kaum muda. Masih berbaur antara das sein dan das sollen, antara fakta dengan realita, antara aksi dengan fiksi. Sanggupkah Anas memperlihatkan diri sebagai politisi muda dengan ghirah yang mencukupi? Dengan semangat, yang oleh Shoe Hok Gie disebut The Young Angry Man (marah terhadap korupsi dan ketidakadilan)? Dengan kemampuan anak muda untuk mewujudkan sesuatu yang oleh Pramoedya Ananta Toer disebut sebagai pemegang proposal masa depan?



Tentu saja ada beberapa cara singkat menguji kondite Anas, sebagai politisi muda yang patut menjadi icon. Mematahkan opini publik, bahwa ia tak akan sanggup meruntuhkan AM yang mendapat restu, disokong (luar biasa) mesin kampanye FOX, plus merebut dukungan internal politisi Demokrat, adalah salah satu catatan khusus yang membuktikan bahwa dirinya adalah petarung sejati (sebuah karakter kaum muda). Menjungkirbalikkan prediksi bahwa Partai Demokrat adalah partai dengan akar tunjang patronase yang kokoh, siapapun yang terkesan "berbeda" akan terpental. Sekaligus menelikung rumus standar dalam kontestasi partai politik besar, bahwa uang adalah segalanya.



Bukan berarti Anas tidak mengeluarkan ongkos politik. Tetapi dihitung-hitung, pundi-pundi pribadinya pasti jauh kelas dibanding dua kompetitors lain. Lain urusan bila kita memasukkan current money dari para bandar yang Pro Anas. Barangkali juga angkanya seimbang. Sudahlah, kita peras saja poin pentingnya: bahwa ia keluar sebagai pemenang dengan catatan bagus. Dalam sebuah pertarungan Kongres yang juga cukup bagus, setidaknya bila kita melihat komentar banyak kalangan di media massa.



Itu paragraf singkat tentang kondite Anas. Bahwa sejatinya ia bukan Don Quixote yang bermimpi menjadi ksatria tulen tetapi dengan cara-cara yang anakronistik ---bertentangan dengan kenyataan yang terjadi. Singkatnya, kita tak boleh menyematkan baju kebesaran Tan Malaka, Shoe Hok Gie, Sjahrir, dalam raga Anas, sebab jubah itu old fashion. Lagipula, dialektika politik terkini harus bergerak ke arah lain. Tak melulu perlawanan kaum muda adalah semangat meruntuhkan. Mengutip istilah Eep Saefulloh Fatah, bahwa agenda politik kaum muda kini adalah menyusun (to arrange), bukan lagi meruntuhkan (to destroye).



Proposal masa depan Anas, secara kebetulan bersumber dari janji politik ia sendiri, berlaku dalam medan Revolusi Sunyi (judul buku yang ia luncurkan dua hari sebelum Kongres Bandungi). Bergerak melalui ranah politik gagasan.



Jika begitu, metode menguji Anas menjadi terang benderang. Tiap-tiap gagasan, menurut mendiang Soedjatmiko, yang pernah menjadi Rektor di Tokyo University, harus punya kaki. Pesan barusan Ini jelas menjadi garis tegas yang membedakan antara gagasan dengan lamunan, antara ideologi dengan imajinasi. Di mana kaki "politik gagasan" Anas berada?




Uji Petik


Mari mulai dari sisi praksis politik gagasan dari Anas. Serumusan gagasan politik, jika kemudian lahir sebagai panduan praksis bagi para pendukungnya, kelak menjadi ideologi. Maka memakai definisi seorang tokoh yang merumuskan istilah ideologi, yaitu Destrut De Tracy, maka pemikiran atau gagasan Anas kita sebut saja sebagai ideologi. Sebab, menurut De Tracy lagi, ideologi adalah motivasi bagi praksis sosial, yang menjadi pembenaran dan mendorong suatu tindakan.


Dalam Kata Pengantar buku Revolusi Sunyi, yang membedah tentang kemenangan Partai Demokrat yang spektakuler, ia menulis bahwa prestasi itu berlangsung dalam proses yang tidak gaduh. Melainkan melalui proses sistematik, terukur, matang dan kerja keras bertahun-tahun.


Uji petik di sini patut memakai ilmu curiga. Bukankah kegaduhan di televisi dan iklan luar ruang Demokrat begitu gemebyar? Hingga muncul pameo, Demokrat bukan pusing mencari logistik Pemilu, tetapi bingung menghabiskannya? Bagaimana juga dengan lelucon bahwa kemenangan Demokrat adalah karena faktor SBC, Soesilo Bambang Century? Agak sukar diterima, bahwa prestasi Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden adalah berlangsung dalam tataran Revolusi Sunyi versi Anas.



Lalu, terlihat seperti menepis isu melawan SBY, setelah ke luar sebagai pemenang Kongres, Anas mengatakan bahwa Partai Demokrat harus melakukan pelembagaan figur SBY. Bahwa karakter SBY, yang santun, cerdas, berwibawa, berpengaruh luas, harus diinstitusionalisasi oleh kader-kader demokrat. Agar menjadi tauladan, menjalar sebagai karakter bersama, di seluruh kalangan kader Demokrat. Bagi politisi kelahiran Jawa, ide ini tentu bukan perkara aneh, sepadan dengan karakter-demografis mereka. Bagaimana dengan orang demokrat dari Maluku, Ambon, Papua, atau malah Aceh?



Tak ada ikhtiar pemikiran yang berbau perlawanan khas "kaoem moeda" dalam dua tesis pemikiran Anas, baik dalam buku Revolusi Sunyi, maupun Institusionalisasi SBY. Wajar belaka jika kita melakukan kritik keras. Karena Anas hanya akan menjadi duplikasi atau setidaknya SBY kecil, dan itu sesuatu yang berbalik punggung dengan elan vital politk anak muda.



Gerontokrasi
Alih-alih meruntuhkan gerontokrasi (kepemimpinan kaum tua), kepemimpinan Anas justru menjadi jangkar bagi patronase politik. Membuyarkan ledakan kegembiraan publik yang melihat bahwa Demokrat ternyata berpotensi menjadi moderen, lepas dari dinasti politik klan tertentu. Semoga saja, statement Institusionalisasi SBY itu berkadar rendah, cukup sebagai ungkapan psikologis seorang Anas belaka.


Sesungguhnya kerinduan generasi muda adalah Jeunisme politik (di mana anak-anak muda tampil dengan karakter sejatinya). Berani bergejolak, kalau perlu dengan letupan kemarahan. Asalkan berbasis argumentasi dan referensi yang jelas, misalnya terhadap penyakit korup dan menguatnya Oligarki serta Dinasti Politik di mana-mana (dan itu terlihat jelas dalam agenda Pilkada, yang dikuasi anak, isteri, dan keponakan).



Dengan agak klise, penialain terhadap Anas memang harus adil. Pun untuk tidak membela dengan gelap mata. Sosoknya berkibar karena memang kecerdasan artikulatif, tetapi jauh dari revolusioner. Agak sedikit kita mendengar gagasannya yang melawan "kesadaran umum", ia kompromistis. Nah, bagaimana dengan aksioma Ali Syariati, bahwa pemimpin perubahan selalu berada di tangan para pemikir yang berani berbeda? Atau temuan Arnold Toynbee, bahwa perubahan ada di tangan creative minority yang melawan pemikiran umum? Permisi... Anas adalah sosok yang lurus-lurus saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar