Minggu, Mei 30, 2010

Negara Selalu Kalah... dan Sesat Pikir DPR RI


Statistik itu dusta, kata sebuah buku ---yang berjudul Kebohongan Statistik! Cara mudah mendeteksi kepalsuan dalam data statistik adalah ini: "Angka Bulat Selalu Palsu!". Tetapi, hari ini, di Indonesia, statistik ternyata juga penuh insiden. Tragedi penistaan terhadap rakyat jelata yang berlelah-lelah melakukan pencatatan. Selembar pernyataan Surat Tugas Negara ternyata sia-sia.


Negara selalu kalah... Tanyakan hal itu pada petugas sensus yang mewakili tugas pemerintah. Mereka diusir, datanya dirobek lalu dilempar, digigit anjing, beropeasi malam bersama para gelandangan, dan sungguh melelahkan. Mudah-mudahan ini bukan cermin perilaku kebanyakan orang-orang super kaya di Indonesia. Cukup sebagian saja...


Jika saja mampu memilih, barangkali ribuan petugas Sensus yang mengikuti pelatihan nan melelahkan tak akan mengabdi sebagai pencatat data penduduk. Boleh juga diragukan: jangan-jangan Biro Pusat Statistik tidak menyiapkan modul untuk mengajari strategi "menginterogasi" status kependudukan orang-orang kaya. Strategi minimal untuk memaksa secara halus, bahwa data setiap kepala itu penting bagi negara! Maka yang terjadi di lapangan adalah exit strtegy, petugas kabur dan menghindar.


Itupun adalah apa-apa yang kita baca melalui media massa. Belum, misalnya, mengira-ngira baratnya perjuangan para petugas Sensus di pelosok Papua, di pedalaman Kalimantan, berhadapan dengan ganasnya kondisi alam di lembah-lembah dan gunung-gunung. Dari sini, klaim Universalisme Ilmu Statistik langsung rontok. Desain sensus versi WHO, atau Worl Bank yang digunakan BPS, sama sekali tak membaca "tantangan demografis" di Nusantara. Tak pernah ada publikasi rinci, apakah UNFPA, badan PBB yang menjadi partner BPS kali ini membuat desain khusus atau tidak. Betapa tak mudah!


Lalu yang selalu terjadi dalam setiap apapun agenda pekerjaan nasional di negeri tercinta ini, adalah betapa jomplangnya beban kerja dengan daya dukung anggaran. Hitung kasar: populasi penduduk Indonesia yang keempat terbesar di dunia itu diperkirakan mencapai 235 juta, dan untuk objek sebanyak itu hanya mencadangkan anggaran 1,3 Triliun, alias termurah sejagat!




Negara Kalah
Per definisi, status negara kalah adalah tahapan paling awal menuju negara gagal. Dunia tahu persis, failure state, atau negara gagal adalah ketika negara dan perangkat penyelenggara kekuasaannya tak mampu memenuhi kebutuhan mendasar para penduduknya. Itu dari aspek pelayanan. Sementara dari aspek otoritas, negara gagal adalah negara yang bahkan tak berhasil melaksanakan apa-apa yang menjadi kehendaknya. Negara gagal adalah negara yang tidak didengar... bahkan oleh penghuninya.


Lalu negara kalah?


Sifatnya agak temporal, tidak permanen ajeg sebagaimana negara gagal. Kadang negara begitu super power memaksa rakyat tunduk, misalnya ketika harga BBM dinaikkan. Tetapi terkadang negara lumpuh berhadapan (vis a vis) rakyatnya. Indonesia lumayan berpengalaman dalam status seperti ini. Dalam isu kisruh Sensus Nasional, agaknya cukup pantas disebut gagal. Sekurangnya, gagal melindungi harga diri dan kehormatan para petugas sensus ---dengan titel demi tugas negara!


Sementara target negara melambung ke ujung langit. Situs detik.com menyebut Sensus 2010 ini ingin menjadi proyek percontohan sedunia. Secara formal, sensus juga memberi fungsi mendasar bagi dokumen penyelenggaraan pembangunan nasional. Agar penyaluran distribusi anggaran tak salah sasaran. Agar tahu persis alokasi APBN untuk orang tak punya. Agar pemerintah siap siaga melakukan pemerataan pembangunan ekonomi. Dan banyak lagi fungsi penting dari data hasil Sensus. Akan tetapi, bagaimana target-target penting itu tergapai bila di lapangan para petugas bekerja kocar-kacir! Apa yang bisa diharap dari orang yang kehilangan martabat (karena tidak dilindungi penuh oleh negara?).



DPR Lalai
Atas semua itu, ke mana hendak mengadu? Kembali mengutip berita detik.com: DPR RI akan memanggil BPS, atas semua proses Sensus yang mendekati ujung. Dalam rangka evaluasi menyeluruh, terhadap kendala, halangan, tantangan, dan profesionalisme petugas Sensus. Anggota DPR RI dari Komisi II, A. Malik Haramain mengatakan bahwa isu penting yang akan diangkat adalah profesionalisme petugas di lapangan.


Kita akan bergembira (sekali) apabila DPR RI justru terlebih dahulu memanggil penghuni perumahan elit di Menteng, Pondok Indah, di Apartemen Mewah, atau di Cluster Elit Alam Sutera Tangerang, yang menolak disensus. Tanya kepada orang-orang maha kaya itu, mengapa tak sudi di data? Tidak kah para legislator itu tersinggung jika ada "wakil petugas negara" yang digigit anjing? Diusir dan dilecehkan?


Tetapi kenyataannya selalu begitu. DPR tidak hadir ketika dibutuhkan. Dan muncul ketika persoalan terlanjur memusingkan. Lelah, sudah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar