Rabu, Mei 12, 2010

Sedikit Memahami Jenderal Susno Duadji


Tidak mudah menjadi Jenderal, dengan medali emas tersemat di atas dada. Lebih tidak mudah lagi menjadi Jenderal seperti dulu-dulu. Setegar tebing karang. Tersuruk dalam medan gerilya, tertatih dalam serangka reyot. Kalaupun mudah, itu hanya ada dalam skenario sinematografi.

Dan hanya Naga Bonar yang mengandalkan selera hati, mengangkat anak buah menjadi Jenderal atau Kopral. “Bujang! Sudah kubilang, kau jangan ikut perang, matilah kau...”

Dulu merinding membaca Biografi Jenderal T.B Simatupang (Saya Adalah Orang Yang Berutang), L.B. Moerdani (Profil Prajurit Negarawan), atau Jenderal M. Yusuf. Tak berperasaan kiranya, jika batin tak menangis menyimak sisa hidup Jenderal Nasution, peletak dasar perang gerilya, yang bukunya The Strategy of Guerrila Warfare menjadi fenomena dunia. Dalam lembaran akhir hidup beliau, bahkan kesulitan memperoleh air bersih, seraya terpaksa membuat sumur bor di halaman belakang rumah.

Bila butuh uswatun hasanah, teladan yang baik dari Jenderal Polisi, maka Nama Besar Jenderal Hoegeng Imam Santoso tak kalah menakjubkan. Mengutip Iwan Fals, ia bernisan bangga berkafan doa. Jenderal yang terkenal bersih, anti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ini catatan yang perlu: beliau tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tapi nun jauh di sana, di Desa Tenjo, Bogor (dari Jakarta bisa diakses melalui Kereta Api murah, Jakarta Rangkas Bitung, meski harus bercampur dengan keranjang sayur atau terkadang kambing jualan). Siapa bilang polisi jujur hanya ada pada Polisi Tidur dan Patung Polisi? Maaf...

Secepat waktu berbalik. Nasib para petinggi militer atau kepolisian sekemilau lencana dan setinggi pangkat yang mereka sandang.

Nyaris tak ada korporasi besar yang tidak mencantumkan nama-nama (eks) perwira tinggi di jajaran komisaris. Untuk apa? Jelas sudah. Ketika Carreforur dan Grup Lippo saling sikut di gerai ritel masing-masing, mencuat nama Hendropriyono, mendampingi Chairul Tandjung. Entah gosip atau fakta, di 2002, beredar isu bahwa Brimob punya saham untuk jasa pengamanan ekstra perusahaan-perusahaan pertambangan besar. Ketika dunia bisnis merasa unsecure, mereka butuh “bodyguard”. Sungguh sebuah perkawanan yang saling menguntungkan (coalition in convenience).


No Pain, Full Gain
Bisnis, politik, prestise, dan segalanya yang mengganti nasionalisme, daya juang prajurit, solidaritas kebangsaan, dan apa-apa yang disebut sebagai sapta marga, tidaklah membuat kita berteriak. Lebih-lebih bila pemerolehan itu memang via fit and propper test dan bukan karena fee and property cash. Seseorang yang mengecap proses perjuangan keras, wajar belaka memetik hadiah. Tetapi justru kita reaktif manakala nilai-nilai adiluhung para prajurit-tamtama-perwira tanggal justru di medan publik.

Jabatan penting dan strategis bukan moncer hanya karena nama. Melainkan karena misi yang diembannya, entah itu di organisasi militer, organisasi politik, atau bahkan institusi bisnis negara sekalipun. Olehnya galib belaka bila para person yang duduk adalah manusia pilih tanding. Bukan hanya karena titipan partai, hasil kongsi para taipan, atau karena beruntung berdarah keluarga tertentu. Ini yang membuat kita meradang. Dan sekalipun bertumbangan korban, tetap saja membuat terperangah. Karena pikiran sehat akan segera lari pada kesimpulan: bahwa tidak ada seleksi fair dalam kompetisi jabatan penting di negeri ini.


Kita kemudian kehilangan exemplary person, suri tauladan yang biasanya bersumber dari orang-orang yang ditempa secara keras dalam disiplin ketat. Tak banyak orang yang bisa lolos ---misalnya di Akabri atau Akpol. Lebih sedikit lagi orang yang secara sistematis ditempa untuk memiliki mental kuat dan fisik perkasa. Lalu kemudian, bila para bintang itu terlihat berkompetisi dengan penuh intrik, apa bedanya dengan pemungut receh di terminal bis kota?


Kontestasi Kuasa
Fenomena Susno persis masuk di pusaran kontestasi kuasa saat ini. Politik hari ini adalah turbulensi dan ketidaknyamanan. Sama sekali tak ada jabatan yang settled, orang bisa terpental atau melesat di jam satu pagi (persis ketika lelap dalam lengah). Barangkali juga sama persis dengan ungkapan Kwik Kian Gie, bahwa bisnis lebih berjalan lancar di saat tengah malam, manakala peraturan pemerintah dan para menteri ekonomi tidak sedang bekerja. Aktualnya: the hidden process jauh lebih menentukan tinimbang the normal process.


Penyingkiran kasar terhadap kaidah meritokrasi. Seleksi berbasis prestasi, karya, pengabdian, integritas, kalah oleh garis perkongsian, like or dislike, atau isu serampangan. Belum lagi bila kita membaca data internal Polri, tentang betapa tak mudah mengatur rotasi kepemimpinan, mengalokasikan para pejabat tinggi, dan meng-karya-kan di tempat terhormat, atas 43 Jenderal Nganggur di Kepolisian. Fakta itu sebat membuat ribet. Proses-proses tersembunyi menjadi faktor penentu. Kita tidak sedang berbicara bahwa Susno bersih. Namun, paling tidak, ia menjadi "peniup seruling" yang penting. Atas berbagai ketidakberesan di institusi tempatnya mengabdi. Meskipun, misalnya, benar ia meradang karena kebutuhan jenjang karier, bukankah itu justru membuktikan bahwa ada mekanisme yang tidak fair, olehnya harus dibuka lebar?


Catatan Akhir
Dunia mengenal beberapa legenda, tentang intrik para petinggi, entah jenderal atau presiden sekalipun. Tetapi juga dunia mengajarkan betapa perlunya toleransi dan kesabaran dalam menggapai kuasa. Indonesia hari ini seperti lupa perihal penting itu. Perang bintang dalam Pilpres menjadi alat pembenar bahwa pertarungan habis-habisan adalah demokratis ---padahal sesungguhnya mereka terlalu cinta diri sendiri, urung untuk mengalah kepada the other.

Tengoklah Jenderal Dwighit Eisenhower, Jenderal Trumann, dua jenderal penting di AS, ketika negeri itu nyaris lebur oleh perang dunia kedua. Keduanya tidak saling sikut, tidak sama-sama maju di saat yang bersamaan untuk menjadi Presiden Penyelamat Amerika. Saling mempersilahkan. Saling mendukung. Selesailah negeri itu dari kiamat resesi dunia. Di kita tidak. Kompetisi orang per orang, dengan serangkaian gerbongnya, justru menggila manakala negeri ini butuh kerjasama.

Catatan akhir: jabatan, uang, gelimang kehidupan, sesuatu yang wajar belaka dalam kehidupan para jenderal. Tetapi yang kita minta, mereka juga menyisakan etos seoerang prajurit, nilai juang, integritas, seraya memperlihatkan prestasi. Tidak dengan cara-cara The Man on The Street. Susno Duadji, Susno Diudji, Susno Dijeruji...

1 komentar:

  1. salam kenal :)
    Saya merinding membaca post ini,,,
    benar2 negara ini butuh perbaikan...
    butuh kejujuran, butuh bersih dari KKN...
    hingga sekedar untuk menjadi PNS, WNI tidak harus mengeluarkan kocek puluhan juta rupiah..
    yang ini dapat mengakibatkan pelencengan orientasi,,,
    dari pengabdian menjadi bagaimana mengembalikan harta dengan secepat2nya dan menjalankan tradisi busuk kepada junior setelah menjadi senior...
    huff...
    Negeriku oh negeriku...

    BalasHapus