Sabtu, Juli 25, 2009

Bahkan Sampah Masih Berguna

Diam-diam, sensitivitas ego menguat untuk mengatakan: aku telah membuang-buang waktu hampir 20-an tahun....

Bagaikan truk reyot menggelontorkan sampah di TPA Bantar gebang. Rutin, saban hari. Gundukan potongan besi bekas, berbaur dengan tripleks hancur dan robekan kertas, tergolong sampah bersih. Coba kalau kotoran rumah tangga, sisa makanan di restoran, atau rupa-rupa buangan basah lainnya. Dirubung lalat menjijikan dengan bau menyesakkan nafas!

Tapi Jakarta akan pontang panting ruwet blingsatan jika kendaraan-kendaraan jelek itu berhenti beroperasi, barang satu minggu. Pasti sumpah serapah warga kota berhamburan. Jadi begitulah setiap alat punya fungsi. Termasuk kendaraan pengangkut sampah itu. Kalau di runtut-runut, sampah-nya sekalipun bisa menjadi multi guna. Coba saja tanya pada ratusan atau mungkin ribuan manusia yang hidup dan menggantungkan nafkah di Bantar Gebang? Secara politik sekalipun, nyatanya lapangan sampah bisa menjadi simbol khusus. Inilah mungkin yang ingin diangkat oleh Tim Sukses pasangan Megawati Prabowo dalam Deklarasi Pilpers lalu.

Dalam diri kita ada fungsi-fungsi seperti alat pembuang sampah. Satu hari saja, tak perlu lama, tiba-tiba alat pencernaan dan saluran pembuangan dalam tubuh tak berfungsi, pasti mulas tak terperi. Barusan hanya menjangkau makna paling fisik dari salah satu organ tubuh yang mengeluarkan sampah. Sebab ada juga organ lain yang ---sadar atau tidak--- kerap mengeluarkan "perkara" sekelas sampah.

Lisan kita sering mengeluarkan ucapan kotor. Pikiran juga begitu, kalut dengan gagasan sekelas kotoran. Gawatnya, ternyata ada mekanisme mengeluarkan dan menerima. Tak jarang telinga kita juga menyerap suara-suara "menjijikan". Para medis, pemerhati anak, pakar gizi, malah tak kurang-kurang rajin mengingatkan bahwa asupan makanan yang kita konsumsi, seringkali berkualitas buruk (hanya pantas untuk dibuang, tidak untuk ditelan).

Perilaku Sampah
Agak jarang memang kita mengukur teliti berapa kubik perilaku sampah kita hasilkan per hari. Tak perlu menelisik sampai ke langkah detil, misalnya tangan yang menuding, lidah yang menipu, pikiran hasud, dan kelakuan jelek lainnya. Cukup dengan hitungan-hitungan sepele. Dengan memelihara kemalasan, itu juga lelaku tak bersih! Bukankah begitu banyak urusan yang jauh lebih berharga daripada sekedar berpeluk lutut?

Lebih celaka lagi adalah kebiasaan kita mengolah sesuatu yang berguna menjadi sampah tak berharga. Seperti telah menjadi hak yang sama untuk semua orang di kolong langit, masalah waktu. Ini berharga betul. Tapi kita adalah pemain yang paling super bagus menendang waktu jauh ke ujung langit. Sebenarnya tudingan ini paling pantas tertuju pada dirik sendiri. Dan memang, ya.

Dua Puluh Tahun
Benar-benar di luar perkiraan akal sehat. Aku, manusia terdidik. Mengecap perguruan tinggi, bisa baca tulis, pernah mengaji di pesantren, tahu praktek sholat dan membaca Al Qur'an, sempat mengenal orang-orang baik, ternyata menyia-nyiakan waktu begitu lama. Sangat keterlaluan. Tidak produktif. Miskin ---hampa--- prestasi. Tak bisa berdiri tegak, karena leher tertekuk malu.

Hanya Allah yang mengetahui, untuk apa semua ini berlangsung. Tak ingin berpanjang angan, seraya genit kutip ayat-ayat motivasi kanan kiri, yang hanya bisa disimpul dalam kalimat "masih ada kesempatan". Sudahlah. Urusan itu mungkin benar, mungkin pula keliru. Meski begitu, denyut hati selalu kutabuh: Ya Allah, aku ikhlas atas seluruhnya, jika itu membawa diriku sujud tersuruk di ke-AgunganMU..... Amien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar