Selasa, Juli 28, 2009

Wasilah, Mendekatkan Diri Pada Allah....




Ya Allah, ternyata seribu tak cukup banyak. Untukku, kau sediakan rupa-rupa cara dan fasilitas, tetapi tak sanggup kumanfaatkan. Wasilah (jalan) menuju CintaMU tak Cuma satu. Kupilih yang aku suka dan aku sanggup.



Jalan terdekat serasa terjauh jika digelayuti perasaan malas. Jarak yang sebenarnya sependek tarikan nafas malah tak sanggup dilalui bila benak terkungkung ketakutan, kepengecutan, dan tak punya semangat melangkah. Malahan bisa jadi kita tak kemana-mana, termangu di tempat, padahal begitu banyak jalur penyedia arah yang terhampar di depan mata.


Benarlah memang, pikiran adalah alat yang pertama-tama menentukan, arah mana dan trayek mana yang akan kita lalui dalam menempuh langkah kehidupan. Para penyeru motivasi (motivator), bahkan menyebut istilah mindmap (peta berpikir), sebagai piranti yang harus terlebih dahulu diperbaiki, guna menyongsong segala tantangan yang menghadang kemajuan manusia.



Bereskan dulu peta jalan di dalam pikiran, langkah berikutnya baru menjadi urusan fisik dan panca indera kita. Jangan dibalik. Sebab bila anda mengayun kaki semata, maka kejadiannya akan seperti orang mengigau, berjalan tak tahu arah.


Urusan menata pola pikir inipun tak segera rampung begitu tahu arah mana yang hendak ditempuh. Sebab masih berjejer perkara lain. Semisal mengukuhkan niat untuk tidak pernah mundur, seterjal apapun rintangan yang merintangi langkah. Juga teramat penting menyiapkan ---sebenarnya meyakinkan diri--- sejumlah strategi. Kalau-kalau dalam upaya menempuh perjalanan, terjadi banyak pilihan-pilihan.


Tak boleh berkacamata kuda, hanya mengandalkan opsi tunggal, untuk berjalan lurus lempang seperti penggaris kayu. Hidup ini sungguh penuh liku. Berkilir, berkelok, meskipun mungkin sasarannya adalah satu lubang saja ---ingat batang bor yang meliuk-liuk, tetapi toh menghunjam hanya di satu titik.



Wasilah

Allah ternyata memiliki skenario yang selalu padan dengan mesin otak kita. Karena tahu manusia beragam dalam kemampuan, berbeda dalam daya tahan, dan tak selalu suka terhadap pilihan seragam, disediakanlah olehNYA, berbagai cara guna mendekat kepada RidhoNYA.

Para nabi dipersilahkan melalui jalur maha berat, bercadas penuh onak duri. Kaum aulia diuji untuk menempuh jalan berkelok gelap dan bising. Begitu juga untuk sufi, kyai, atau bahkan ustadz. Mereka tentu memperoleh lahan yang padat rintangan.


Sementara kita, mungkin, mendapatkan lintasan yang biasa-biasa saja. Boleh jadi sangat nyaman untuk ditempuh. Tetapi persoalannya: itupun tak pernah sanggup kita lewati. Peluang yang Allah sediakan kita abaikan. Tantangan sederhana yang Allah turunkan, kita anggap azab mahapedih ---bahkan memarahi Allah atas bencana kecil itu. Lebih sering ego dan hawa nafsu membisikan pesan celaka kepada kita. Untuk surut dari melangkah, atau berdiam dan mengundurkan diri dari ”undangan” Allah. Kita tak memilih untuk melakukan perjalanan sederhana menuju CintaNYA.


Wasilah adalah jalan menuju Allah. Segala sesuatu yang secara syariat dibenarkan, termaktub dalam sabda nabi, dan menjadi tausyiah para alim ulama, adalah ribuan butir hikmah yang bisa kita jadikan sebagai jalan menuju Allah. Wasilah Allah, sejatinya, adalah segala bentuk kebaikan yang bisa kita lakukan. Tak mesti yang berat-berat dan melelahkan. Bahkan bisa dalam bentuk teramat nyaman dengan sedikit resiko.



Memilih Sederhana

Saya memilih untuk sadar. Bahwa sejauh syariat mengajarkan ---dan bukan bid’ah atau mengada-ada--- bahwa sesuatu bernilai ibadah kepada Allah, meskipun tergolong sederhana, adalah pilihan utama saya.


Dalam banyak kasus, wasilah menuju Allah itu juga adalah berlaku untuk semua Ummat Islam. Terutama hal-hal yang tergolong wajib, seperti mengerjakan Shalat. Namun inipun bukan berbentuk tunggal dengan standar bulat baku ---sekaligus beku. Senantiasa ada gradasi, ada ruang-ruang penyesuaian, dan terselip aneka keringanan.

Bila Shalat Nabi dan para sahabat bisa berjam-jam, tepekur dalam bacaan-bacaan dan dzikir panjang, saya mungkin melaluinya dengan bacaan pendek dan dzikir ringan.


Kaidah inipun berlaku sama untuk amalan-amalan sunnah. Katakanlah itu adalah shadaqah. Tak sedikit kisah, entah masa lalu atau kini, menggambarkan tentang perilaku dermawan (filantropi) luar biasa. Serta kemampuan manusia untuk menolong orang lain sampai mengabaikan hak-hak dirinya sendiri, yang kerap dipraktekan penganut tarekat sufi (praktek asketisme). Nah, karena itu belum sanggup kutempuh, maka ada pilihan bersahaja. Cukup dengan merutinkan shadaqah, meskipun seribu perak, yang penting ikhlas.



Menguntungkan

Sekali lagi, Allah maha tahu tabiat kita. Dalam berbuat baik, manusia seperti saya, selalu bersandar pada kalkulasi ekonomi ---minimal ingin merasa untung, kalau tidak konkret seperti uang, ya, harus dapat pujian manis dari manusia lain. Lagi-lagi, inilah standar kelemahan kita. Tetapi its human, sangat manusiawi. Patokannya adalah satu: jangan dijadikan tujuan, melainkan respon atau konsekuensi semata. Jangan dijadikan target pengejaran. Sebab tujuan utamanya tetap harus kepada Allah SWT.


Di sini kasih sayang Allah bermain. Dia tak hendak menutup peluang kita menikmati jalan yang kita tempuh itu. Misalnya dalam bekerja ---sebagai satu bentuk ibadah mulia—kita mencicipi banyak keuntungan. Bila ikhlas, pekerjaan kita bernilai ibadah, juga mendapat balasan konkret. Seperti mendapat gaji atau bonus. Pun dengan “hadiah” tambahan, seperti pujian dari isteri, dan kebahagiaan dengan sesama (misalnya kawan yang kita traktir). Allah tahu, selain bisa berfikir abstrak, manusia juga butuh balasan yang sifatnya konkret dan segera.



Teramat Banyak

Diri ini butuh pelecut dan cambuk yang dihentakkan ke tubuh berkali-kali. Bukan apa-apa, kelalaian dan kemalasan terlalu erat mengikat, makanya butuh disadarkan.


Saat ini, misalnya, di saat menganggur dan tak punya pekerjaan tetap untuk menafkahi anak isteri, benak saya dikerangkeng pikiran-pikiran buruk. Seolah terkunci pintu kebahagiaan. Padahal tak selalu begitu.


Allah juga memberikan banyak opsi, agar saya bisa bahagia. Demikian juga untuk ”berbahagia” dalam beribadah kepadanya. Langsung saja: saya menjadi lebih akrab dengan anak isteri. Bertetangga lebih baik. Sholat berjamaah bisa mudah dan rutin. Tahajud juga tak takut ngantuk. Beramal dengan modal tenaga juga bisa dilakukan ---misalnya bersih-bersih mushola. Membaca buku lebih banyak dan bisa berlama-lama. Dan masih banyak lagi. Inilah wasilah menuju Ridho Allah.


Ya Allah, teguhkan diriku dalam keyakinan pada pertolonganMU. Amien....

1 komentar:

  1. menjadikan suatu teori sebagai wasilah boleh tidak, misalnya gini lho,.. ada seseorang menemukan "teori" sholat khusyu', dan sy merasa cocok, lalu menjadikan teori itu sebagi wasilah boleh tidak? pls email me; technic_mt27@telkom.net

    BalasHapus