Kamis, Februari 11, 2010

Audit Komunikasi Pansus Bank Century


Di DPR ada sesuatu yang membuat banyak kalangan cemburu. Bukan lantaran tungkai kaki lenjang milik Aura Kasih atau sensasi no bra dari Andi Soraya. Melainkan menyasar kepada sekelompok politisi di Pansus Bank Century.

Kecemburuan menguat, manakala kemeriahan Pansus bertabur dengan rupa-rupa peristiwa. Seolah DPR RI hanya terdiri dari Pansus Century, yang lain “pemain figuran” belaka.

Coba hitung, ratusan aksi massa yang pro dan kontra. Ribuan spanduk dan atribut demonstrasi. Berlahirannya istilah-istilah baru yang sebelumnya tak diajarkan di kamus politik (seperti istilah banxxxt, masuk angin, dan yang terbaru industri Pansus). Sampai ke urusan berapa besar biaya yang sudah dihabiskan.

Televisi pun seperti mendapat berkah. Liputan nyaris blocking time, tak kenal pagi, siang, malam, terus-terusan ditayang ekslusif. Berlembar-lembar halaman koran mencetak berita utama, hari demi hari. Jika memakai tradisi Majalah TIME, maka Pansus Bank Century tergolong Mans of The Month. Sengaja memakai istilah “man”, karena “woman” tak kelihatan…

Padahal ada potensi tandingan dari mana-mana. Saya ingat persis, di tengah rapat Pansus yang mirip telenovela itu berlangsung, di Komisi VIII DPR RI gencar mengkritisi penyelenggaraan haji. Juga di Komisi lain yang tengah sibuk membahas APBN Perubahan (dengan nominal jauh di atas kasus Century). Tetapi realitas itu tersaput “komersialitas” pemberitaan Pansus.

Di luar lingkungan parlemen, tak sedikit hiruk-pikuk rakyat berhamburan. Ada demonstran menggembalakan kerbau di lahan beraspal (pasti dia bukan anak petani, atau penggembala dadakan!). Rangkaian peristiwa bunuh diri. Berita penculikan anak-anak di bawah umur. Atau segala sesuatu yang setelah selesai anda simak hanya bisa mengelus dada…

Lalu apa faedah yang terpetik? Selesai sebagai showbiz politik dengan akhir layaknya sinema Hollywood?

Untuk orang-orang yang terlibat langsung, terutama politisi DPR RI, arahnya mudah ditebak. Jika patokannya harga normal, minimal biaya Pansus meneyerap anggaran dua milyar rupiah. Tak tahulah jumlah yang tercantum dalam nota tak tertulis. Boleh jadi, cibiran Wakil Presiden Boediono bahwa Pansus sudah menjadi industri, berlatar dari “pengetahuannya” tentang biaya politik Pansus. Dalam rumusan orang awam pun, istilah industri selalu mengacu pada investasi, keuntungan, dan uang banyak. Pihak lain menyindir Pansus melulu menghamburkan anggaran negara, buying time, dan politik dagang sapi (political trade off).

Masalahnya adalah tak ada makna pendidikan politik apapun jika kritik berkutat ke pusaran “kecurigaan” melulu. Jelas-jelas kinerja Pansus butuh dana. Termasuk bargaining, loby, dan pendekatan. Begitu juga kampanye penggalangan dukungan. Semua itu masih berada dalam wilayah fatsoen politik dan memenuhi kadar kepatutan. Publik juga paham persis, hukum ketatanegaraan kita memungkinkan terjadinya proses-proses politik di Pansus itu.

Kalaupun lahir gugatan, jauh lebih segar andai menyasar pada efektivitas dan pelipatgandaan manfaat dari Pansus Bank Century ---terutama untuk khalayak ramai.

Posisi Netral
Lantaran negeri ini jenuh dengan mimpi dan pengandaian, maka tulisan inipun tak patut diawali dengan kata: “jika atau andai”. Semisal mencantumkan utopia: jika saja seluruh rakyat berhak menentukan, maka mereka akan memilih kompromi terbaik (kembalikan saja uang negara, salurkan untuk kaum tak berpunya!).

Tetapi wacana Pansus mahal, melelahkan dan sekonyong menjadi cibiran sejumlah golongan, tak boleh juga dituruti. Kalau perlu, justru dibendung sedari awal. Sebab jika telah membesar menjadi opini publik, lantas menimbulkan apatisme serta kemarahan khalayak, maka benar-benar panggung Pansus hanya melahirkan kerusakan dan kemudharatan.

Dari ukuran apapun, baik konstitusi, regulasi, fatsoen politik, hingga urusan kebutuhan faktual, Pansus Century memang layak hadir ---kecuali, sekali lagi, “jika” saja tak ada peristiwa dana talangan trilunan rupiah ke Bank Century.

Logika politik pun harus ke arah rasional: bahwa Pansus adalah metode membongkar kejahatan politik yang tidak biasa (extraordinary circumstances). Kebijakan dana talangan Bank Century, jika terbukti bersalah, adalah kejahatan luar biasa. Lebih dahsyat dari sekedar “kejahatan kerah putih”, kejahatan korporasi, atau sekedar korupsi kebijakan. Justru jauh melampaui semua itu. Boleh jadi, sudah termasuk kejahatan konspirasi. Nah, mengusut kejahatan seperti itu benar-benar butuh strategi politik seperti yang terdapat di Pansus Bank Century DPR RI.

Pembelajaran terpenting adalah terang benderang: biarkan Pansus bekerja, jangan ada delegitimasi politik apapun. Bisa jadi suatu hari nanti, bangsa ini butuh alat Pansus untuk mengusut peristiwa politik yang merugikan rakyat.

Audit Komunikasi
Terakhir arah politik Pansus memang mengecewakan. Tensi politik menurun, rapat sudah kehilangan greget, dan seperti terbaca arah ke mana. Padahal, selama proses kemarin, letupan semangat publik seolah terwakili. Terjadi debat panas, dan agak sukar para politisi untuk berpura-pura. Ada harapan agar Pansus bergerak ke ”bola liar” yang tak bisa dijinakkan dengan mudah. Juga melibatkan emosi para petinggi negeri. Tapi, entah karena terlalu lama, Pansus tiba-tiba mencapai anti klimaks.

Barang sudah jadi bubur. Rakyat, untuk kali ini, jangan lagi mengidap amnesia dan terlalu asyik dengan ”ingatan pendek”. Kita semua punya rekam jejak secara lengkap. Catatan tentang baik buruknya perilaku Anggota DPR RI, sikap tidak tegas dari Fraksi, atau polah tingkah para pejabat, adalah data-data primer yang bisa kita audit. Mari periksa secara seksama, lakukan audit komunikasi atas tindak tanduk para pihak yang terlibat di Pansus. Tujuannya satu: menagih integritas dan kebenaran aktivitas mereka dalam Pemilu nanti....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar