Sabtu, Februari 06, 2010

Saya (masih) Cacing di HMI...


Sejarah tak mencantumkan nama para cacing. Bahkan tidak untuk catatan kaki sekalipun. Seperti keluhan Antonio Gramsci, bahwa sejarah tak pernah mencatat pengorbanan cacing yang menggemburkan ladang…

Kalau bangga dengan artefak Borobudur, maka ketakziman hormat itu barangkali mengarah kepada Wangsa Syailendra, atau kepada pesan-pesan kultural keagamaan yang ditoreh dalam relief. Selalu tidak ada pengingatan tentang berapa ribu nyawa melayang, diperbudak mengangkut bebatuan besar dari dasar ke puncak. Siapa punya catatan tentang penindasan Dynasti Rhamses (Firaun) ketika menitahkan ambisi pembangunan Pyramida Sphinx?

Bertebaran ribuan hikayat fiktif atau faktual yang bisa dicandra siapa saja, hari ini. Tentang bangunan, bendungan, patung, tugu, dan peninggalan-peninggalan bernama keajaiban dunia, yang dikenang banyak orang. Tetapi, sekali lagi, tidak untuk mempertanyakan bagaimana para budak, buruh, romusha, atau koeli rodi meregang nyawa ---demi kehendak ambisius para penguasa.

Tetapi sejarah bukanlah kincir angina yang bisa dihentikan. Meski berputar dan cenderung terjadi pola-pola pengulangan, sejarah harus terus berlalu. Jika dulu peninggalan-peninggalan besar selalu mengharumkan nama-nama besar, hari inipun mirip seperti itu. Kecuali ada sedikit saja perbedaan. Bahwa orang-orang besar hari ini juga lahir atas jasa orang kecil dalam jumlah besar.

Di mana posisi anda hari ini?

Orang besar yang menempel pada orang yang lebih besar? Atau orang besar yang bertengger pada jumlah besar orang-orang biasa? Dengan cara wajar atau culas, sejumlah nama besar di jagad kekuasaan agaknya melulu membesar dari dua pola itu. Tentu tidak gratis. Memakai formula berlapis-lapis. Barangkali dengan kemampuan “menjinakkan” para petinggi negeri. Atau barangkali dengan manipulasi dalam panggung Pemilu untuk “merebut” suara orang-orang biasa (tetapi dalam jumlah besar).

Karuan saja ini bukan kemarahan tanpa makna. Lantaran kita miskin contoh untuk pola-pola menjadi tokoh besar dengan jalur-jalur alternatif. Belum ada pemenang Nobel (versi apapun) yang kemudian benar-benar dicintai seraya menjadi teladan (figur) publik. Belum banyak lahir atlet kaliber dunia yang merebut kecintaan lahir batin dari jutaan penduduk. Masih sedikit para intelektual, akademisi, atau professional yang mengharu biru dunia karena karya hebat ----lantas merebut simpati suara rakyat.

Artinya, panggung politik kekuasaan hari ini berkutat dalam dua alur besar tadi: manipulasi suara dukungan rakyat dan ketergantungan tinggi terhadap kekuatan yang lebih tinggi. Jika rumusannya masih seperti ini, maka wajar saja bahwa kompetisi politik yang berlangsung selalu memakan “banyak korban”.

Berikut adalah pengakuan: hingga hari ini posisi politik saya berada dalam orbit “banyak korban” itu. Sederajat saja dengan tukang ojek ---yang meraung-raungkan motor berkonvoi bising dalam kampanye Pemilu. Setingkat lebih tipis dari pemilih buta hurup yang datang ke TPS karena dipelototi Kepala Desa. Tidak berbeda jauh dengan ratusan juta pemilih lain, yang statusnya adalah partisipan politik. Suara dan dukungan kami mengalir begitu saja. Tanpa daya kuasa bila ada the factor yang mengarahkan ke muara, danau, atau malah ke saluran got kotor.

Tetapi apakah itu nista?

Harga yang harus dibayar adalah perasaan terhimpit. Meskipun ada nasehat yang terus terngiang, dari Almarhum Nurcholis Madjid. Bahwa dalam melahirkan seorang tokoh, selalu ada tunas yang merepuh, menjadi jasad renik yang menyuburkan tunas yang lain. Dalam satu rumpun pohon bambu, tak semua tunas menjulang, ada yang mati, tak berarti.

Penghargaan tak bisa diharapkan datang dari siapapun. Tak berbilang kisah tentang orang-orang yang besar atas dukungan kelompoknya tiba-tiba terbang menjauh, tanpa datang lagi ke dangau. Menengok pun tidak. Saya kira, bila ukurannya adalah organisasi HMI, maka HMI adalah ladang subur untuk bertumbuhnya ratusan (atau ribuan) tunas. Serta ladang “pembantaian” untuk ribuan lain yang tak jadi apa-apa. Itulah yang disebut “cacing” oleh Antonio Grmasci ---sekedar ikut menyuburkan lahan.

Tetapi juga jangan kaget. Ribuan kader HMI kerap mempermulus langkah orang-orang besar di mana-mana. Tak cuma di panggung politik, tapi juga di jalur birokrasi, pemerintahan, dan mungkin juga bisnis. Nama-nama mereka tidak disebut sebagai orang besar, dan dengan mudahnya diabaikan oleh para pihak yang telah diuntungkan. Namun, seperti cacing, mereka tidak berpotensi menggulingkan apalagi menistakan. Selalu membuat subur ladang….

Kembalinya adalah kepada Tuhan. Tuhan, bila aku pernah sedikit saja berjasa, bagi siapa saja (yang kini telah menjadi orang-orang besar dari HMI) maka Engkaulah yang menentukan.

Hingga hari ini, Saya Masih Menjadi Cacing di HMI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar