Jumat, Februari 19, 2010

Chronica Serimpia et HMI Cabang Manado


George Santayana, seorang filsuf moderen, pernah mengingatkan kita untuk tidak lupa sejarah. Menurutnya, orang yang mengabaikan masa lalu akan dihukum dengan peristiwa yang sama di masa mendatang. Catatan itu barangkali satu dari ratusan petuah yang berbunyi mirip. Salah satu The Founding Father kita, Bung Karno, bahkan menitahkan dengan keras: Jasmerah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah!

Sekalian melengkapi, bahwa tabiat minor anak bangsa ini adalah punya ingatan pendek. Praktek-praktek impunitas, amnesia sejarah, dan tidak tekun mencatat sesuatu (penting atau tidak penting), di kadang waktu selalu berbuah kerugian. Padahal sejatinya, kata Milan Kundera, perjuangan menegakkan demokrasi adalah perjuangan melawan lupa...

Dua kategori itu, "sejarah" dan "perasaan lupa", yang ingin saya perbincangan dalam notes di facebook ini.

Selalu ada peletup untuk mengingat tempo doeloe. Seorang kawan Mantan Ketum HMI Cabang Manado, bertutur dengan nada gondok. Sekarang ini, ungkapnya, anak-anak lepasan LK I saja sudah bermain di Pilkada.

"Lebe gila lei," ia menambahkan dengan jelas, "acara Musda REI saja dorang so iko-iko." Istilah Musda adalah Musyawarah daerah, biasanya untuk memilih ketua baru. Sementara REI tak lain adalah Real Estate Indonesia. Saya terperangah! Bagaimana mungkin kami dulu membayangkan bisa masuk wilayah seelit dan semewah itu?

Imajinasi liar lantas beredar ke Gedung Serimpi, Jalan Roda, dan para penghuninya. Di era itu, kelas kami paling banter bertarung di KNPI, satu level lebih tinggi dari Konfercab HMI Cabang Manado. Lain-lainnya tidak. Kalaupun ada, masih setingkatan saja. Seperti ikutan di Muktammar Badan Tadzkir, perebutan Ketua Senat Fakultas atau Universitas, dan bersilaturahmi ke PMII atau IMM. Sudah, itu saja.

Wajar terperangah. Setahu saya Real Estate Indonesia adalah organisasi profesi beranggotakan orang-orang yang sudah jadi ---bukan anak-anak komisariat HMI Cabang Manado. Kok, bisa ya?

Lantas tentang informasi yang sebenarnya terlacak agak jauh-jauh hari. Bahwa anak-anak lulusan LK 1 dan "hanya" pengurus Komisariat sudah mampu bertarung di Pilkada. Entah dalam posisi apa, yang jelas pasti beragam. Konon ada yang cuma bawa-bawa tas dan turun naik mobil calon Walikota. Kadang rada berposisi bagus, misalnya jadi perancang strategi kampanye. Lebih banyak lagi, katanya, yang jadi Mak Comblang dan jualan isu. Raja Olah, istilah aktivis Jakarta. (Mengolah isu, mengolah gosip, dan mengolah informasi).


Jika dihampiri dengan telaah serius, maka ulasannya panjang lebar. Misalnya dengan membubuhkan teori proliferasi dari Sejarawan Almarhum Koentowijoyo. Proliferasi berarti penyebaran (kader HMI) ke berbagai lapisasn sosial. Patokan ini menyebut, sukses tidaknya kaderisasi HMI bisa dilihat beberapa tahun setelahnya. Apakah kadernya bisa sukses di berbagai profesi dan lahan pengabdian, atau cuma di situ-situ saja.

Mestinya, bisa bermain di Pilkada dan Musda REI adalah bagian dari proliferasi itu. Tetapi bila menelisik detil-detil informasinya, agaknya kita patut kecewa. Benar mereka memang menyebar ----dan besok-besok mungkin sudah mampu mengobok-obok Ikatan Dokter Indonesia--- tetapi mission-nya tetap sama, politis belaka!

Namun bila telisikan kita tarik ke diskusi santai, maka fenomena Anak Komisariat Berpilkada itu juga tak lepas dari ceceran tradisi yang berlangsung belasan tahun sebelumnya.

Bang Naid cs
Supaya jelas garis telusur, maka baiknya kita candra latar sejarah di zaman Bang Naid dan kawan-kawan (terutama Bang Coen, Bang Taufieq, dan Bang Yayat). Periode itu adalah zietgeist (semangat zaman) yang terpampas oleh gurita kekuasaan Orde Baru. Penguasa, melalui kebijakan NKK/BKK rancangan Daud Joesoef, mengerangkeng mahasiswa dan aktivis kampus untuk selalu "tiarap". Meminjam istilah anak-anak kiri, mahasiswa era itu adalah apolitis, ahistoris, anakronistis. Pokoknya duduk diam manis di kampus.

Bukan berarti tak ada perlawanan. Malah sesungguhnya mereka berikhtiar dengan cerdas. Tentu saja tidak bergerak sendiri, melainkan menjadi bagian dari skenario pergerakan yang berlaku di zaman itu. Tak lain dengan strategi membentuk Kelompok Studi, yang dimotori oleh Denny J.A (kini Direktur LSI) di Universitas Indonesia, Jakarta. Produk perlawanan mereka adalah Kajian, Jurnal, Buku, dan Intellectual Product lainnya. Saya ingat persis, Bang Naid dan kawan-kawan waktu itu juga masuk dalam kategori ini, yaitu membentuk Kelompok Studi, yang bernama Kelompok Studi Pancasila (beranggotakan Dokter Taufieq Passiak, Coen Hussein Pontoh, dan Bang Yayat).

Di mata saya, di sinilah benih-benih intelectual exercises (pelatihan intelektual) bersemai. Mohon maaf dengan takzim, sebelumnya juga pasti ada, misalnya oleh Ka Fadly Tantu, Ka Anang Otoluwa, dan Ka Hamzah Latief. Tapi jelas di masa Bang Naid itu begitu menonjol. Mereka berlangganan Jurnal Ulumul Quran, yang harganya waktu itu bisa membeli sepasang sepatu olahraga. Menjadi distributor Jurnal CSIS (disebut sebagai think tank-nya Orde Baru), dan sudah pasti menjadi penikmat bulanan untuk Jurnal Kajian Politik, Ekonomi, dan Budaya terbitan LP3ES, yaitu Jurnal Prisma.

Jangan main-main dengan mereka. Saya ingat penuturan Ka Mustafa As'ad (sekarang pejabat di Pelindo). Ia memberi nasehat kepada saya dan Basri Amien. Perintahnya begini: Endi, Basri, ngoni jang coba-coba iko pa dorang pe diskusi, kalau belum baca buku Arief Budiman deng Sritua Arief. Maksudnya, kami berdua harus membaca lebih dulu buku-buku berat tersebut, baru bisa ikut diskusi dengan Bang Coen, Bang Naid dan kawan-kawannya.

Pelatihan intelektual lain dari zaman itu adalah aktivitas tulis menulis dan berdebat hingga adzan subuh berkumandang (lalu, tidur, he..he..he..). Segala rupa teori-teori besar, seperti Post Moderenisme, Strukturalisme, teori ketergantungan ekonomi politik (dependecy theori), gerakan kiri baru (new left), dan paradigma-paradigma besar, terhidang bebas di masa itu. Thanks for Bang Naid, Coen, Dokter Taufiek dan Bang Yayat.

Nah, bagaimana corak politik atau gerakan politik mahasiswa dari Bang Naid cs?

Selalu serius dan penuh perhitungan matang. Silahkan cek ke Ka Idun, Ka Djafar Al Katiri, atau ke Benny Rhamdani. Hanya untuk sebuah aksi demo di DPRD Sulut, mereka butuh kajian dan analisis satu bulan lebih, dengan setumpuk dokumen pendukung. Tidak asal turun, teriak, dan cuma bermodal urat leher panjang ---ditambahin spanduk dan poster provokatif. Kentara sekali, warna intelektualitas begitu berkibar-kibar. Saya pikir, saat itu tak ada permainan culas dalam bentuk Money Politics, dalam gerakan-gerakan yang mereka bangun.

Penelusuran berlanjut ke periode antara (maksudnya masih di era itu juga, hanya berganti tokoh). Di sini bertumpuk nama-nama lain. Namun tabiat dan karakter gerakannyanya sama. Persisinya di penghujung cakar kuasa Pak Harto dan di awal persemaian era reformasi.

Ada corak baru di situ. Euphoria reformasi, kebebasan pers, kebebasan berserikat, kebebasan berdemonstrasi benar-benar mewujudkan bulan madu bagi aktivis mahasiswa. Para aktivis mahasiswa dan pegiat politik praktis, beredar tidak dalam satu warna. Begitu pun anak-anak Ijo Itam penghuni Gedung Serimpi, Manado.

Dari beberapa nama, seperti Baso Affandi, Rahmat Adam, Hasdien Mondika, Harris Surachman, Lita Mamonto, Irman Meilandi, Budiyanto Napu, Dadang Nugroho, Rusli Djalil, dan juga termasuk Basri Amien, dan entah siapa lagi, beraktivitas dengan sedikit kelebihan dari pendahulu mereka. Mengapa?

Secara intelektual, mereka menikmati tetesan ilmu para senior, dan rata-rata pecinta buku. Tetapi jaringan dan akses informasinya lebih leluasa ---tak ada lagi sensor dan ketakutan. Kelebihannya, adalah terwujudnya selera outward looking, melihat ke luar. Mereka aktif di organisasi lain, seperti Partai Politik (Budianto Napu), LSM (Lita Mamonto), Pers (Rusli Djalil), dan bahkan bisnis (Irman Meilandi). Jika memakai paradigma demokrasi ala Romo Magnis Suseno, pegiat gerakan mahasiswa zaman itu sudah masuk ke empat pilar penunjang demokrasi dan mewujudkan kekuatan civil society. Tak lain adalah: Pers, LSM, Partai Politik, dan Organisasi Kemasyarakatan lainnya.

Dari benih intelektualisme kritis, kawan-kawan di era paska reformasi itu melakukan proliferasi (penyebaran) ke ranah intelektulaisme praktis (di politik, LSM, atau media). Rata-rata berkibar bukan sebagai pengekor, tetapi menjadi aktor kunci dan agen penting yang dihormati banyak kalangan. Selalu ada cela memang. Dalam catatan saya, sisi sumir dari corak gerakan mahasiswa era Baso dan kawan-kawan adalah ini: tidak berhasil membuat barisan, kecuali kerumunan! Mereka bergiat sendiri-sendiri, dan agaknya abai melakukan kaderisasi dan membangun basis gerakan yang kokoh di komunitasw masing-masing.

Dua kemiripan periode Bang Naid Cs dan Baso Affandi Cs adalah sama-sama tidak menyantap tetesan berkah politik (uang dan fasilitas) dari kekuatan politik manapun. Masih sama-sama kere...


"Tentang Rully Amri"
Tentang periode setelah itu saya tak sanggup mencatat banyak. Barangkali yang bisa dilakukan adalah sedikti perbandingan-perbandingan. Dulu, para senior dikenal tak pernah lupa menggapit atau menenteng buku baru ---atau buku lama, tetapi benar-benar penting! Benar adanya, ingatan Pretty Mamonto di facebook ini atas foto Bang Mus (Mustafa As'ad), bahwa ke mana-mana beliau membawa buku. Nah, sekarang? Di genggaman tersedia Handphone atau Smartphone bagus. Di dalam tas, bukan buku baru, tetapi mungkin laptop. Dan jemari tangan sibuk mengetik SMS.

Kalau mendengar wilayah pergaulan mereka, sungguh luar biasa. Seorang junior jauh bahkan menjanjikan tiket agar saya bisa ke Manado. Duh... dulu kami pontang panting hanya untuk berangkat dengan tiket PELNI. Mereka enteng saja menembus elit-elit politik dan tokoh-tokoh penting. Dulu, berhadapan dengan Almarhum Ka Aries Patanghari saja gemeteran...

Inilah yang disebut dengan geneasi penikmat. Tidak salah, justru bagus. Perubahan harus mengarah ke ajang lebih baik. Tetapi apakah "bersih" dari resiko? Sama sekali tidak...

Berjarak dengan kekuasaan memberi keleluasaan dalam bersikap. Lebih-lebih di masa perkembangan intelektualitas dan pengakderan untuk anak-anak HMI (misalnya lulusan LK 1 dan pengurus Komisariat).

Wilayah politik praktis semacam Pilkada adalah berorientasi hasil, bukan proses. Seraya meminggirkan wacana, teori, moralitas, dan benih-benih intelektualisme. Prakteknya adalah pragmatis, azas manfaat, dan segera (bukan berorientasi investasi ke masa depan). Tokoh dan agen yang terlibat, maaf saja, pastinya sudah lelah dengan urusan pengkaderan dan penyemaian sikap kritis.

Saya agak ngeri membayangkan, jika benar inforamsi bahwa anak-anak level Komisariat sudah ikut rombongan calon Walikota, calon Bupati, atau bahkan calon Gubernur. Ada di mana posisinya? apakah penghargaan terhadap mereka karena kualitas personal, atau justru sebagai cheer leader dan Mak Comblang yang gampang disuruh-suruh?

Ini adalah keluhan. Sebab, dari beberapa nama Yunior yang saya kenal, satu dua saja yang agaknya tekun dengan medan intelektualitas. Salah satu yang saya kenal, ya itu dia yang jadi judul: Rully Amri.

Semoga saya tidak dianggap melankolis, sentimen dan rewel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar