Selasa, Februari 02, 2010

Komputer DPR RI Terlalu Mahal? Mari Lacak...


Enemy of my enemy is my friend. Rumus ini seolah menjadi formula jitu dalam dunia perpolitikkan. Tetapi, dalam kondisi tertentu, kisah keseharian kita sering terkerangkeng dalam rumusan yang sama. Salah satu cara untuk selamat dari "kredo" itu adalah menjaga kewarasan dan akal sehat.

Masalahnya selalu ada pihak yang keliru mengambil posisi, sudah tentu juga keliru dalam menempatkan sesuatu sebagai "musuh". Sembari meletakkan rasa hormat dengan seperlunya saja, saya menganggap kawan-kawan pers dan aktivis LSM hari ini memperlakukan DPR RI (dan segala isi di dalamnya) adalah sebagai musuh.

Dalam politik, posisi sedemikian secara sempurna memperlihatkan cara pandang "binner oposition". Cara pikir yang meletakkan sesuatu selalu bertentangan secara keras, hitam-putih, tanpa ada celah kompromi. Dalam batok kepala orang-orang seperti itu, tak ada istilah yang akrab disebut sebagai "grey area", wilayah abu-abu, yang memberikan banyak opsi dan alternatif.

Celakanya, mindset seperti ini tidak dikonsumsi sendiri. Artikel ini tak perlu muncul bila urusannya orang per orang belaka. Lain perkara karena mereka (pers dan aktivis LSM itu) gencar melakukan kritik dan evaluasi terhadap DPR RI, seraya melakukan psywar-perang urat syaraf di media. Alias melakukan rangkaian publikasi sistematis. Dengan muara yang kentara sumir: melakukan public distrust, menggerogoti kepercayaan publik terhadap parlemen.

Teknik tergampang dari operasi black campaign seperti ini adalah dengan mem-blow up perkara sepele menjadi besar. Sembari menghilangkan detil informasi, menyingkirkan azas keberimbangan informasi, dan menistakan informasi alternatif.

Artikel ini, maaf saja, bukan pembelaan hitam putih. Melainkan berpihak pada kepatutan. Bahwa yang benar, publik harus memiliki kesadaran bahwa dalam politik tak boleh ada musuh abadi. Bahkan, jika sepakat dengan petuah Almarhum Nurcholis Madjid, bahwa dalam politik, sejatinya tidak memposisikan pihak yang berseberangan sebagai musuh atau enemy, melainkan cukup sebagai lawan atau oponen. You are my oponen, not my enemy...


Distorsi Informasi

Duduk perkara adalah publikasi gencar tentang pengadaan fasilitas komputer baru di ruang anggota DPR RI (artinya juga adalah ruang kerja Staf Ahli Anggota dan Asisten Pribadi Anggota DPR RI). Berita-berita yang dilansir, sebagaimana lazimnya, melakukan teknik penjudulan yang menggunakan kata-kata penuh "daya gugah" dan "daya kejut". Tak ada judul yang normal atau biasa saja (barangkali kalau seperti itu, takut tak dibaca orang).

Simak saja:
1. Wow, Anggota DPR RI Mendapat Komputer Mewah...
2. Komputer DPR RI, Rp. 15 Juta Terlalu Mahal...
3. Pengadaan Komputer DPR RI Potensial Korupsi...
4. Komputer di DPR RI Diganti 2 Tahun Satukali...

Di luar judul, isi pemberitaan kentara tidak bersumber dari pelacakan serius. Sekedar, mengutip Ana Nadhya Abarar, pakar komunikasi politik, meletupkan realitas psikologis semata. Realitas psikologis adalah pernyataan nara sumber terhadap media yang dilakukan at time at locations without investigation. Bicara di tempat itu, di waktu itu, selesai. Tanpa ada pelacakan detil. Nihil konfirmasi dari narasumber lain. Dan, maaf saja, miskin otoritas serta kompetensi.

Pemberitaan model begitu, aduh, jauh dari porsi pencerdasan pubilk. Bayangkan saja: para jurnalis bergerombol, sibuk kanan kiri, di hadapan nara sumber. Pertanyaan tak mungkin mengejar, cukup sepenggal-sepenggal saja. Alhasil, ucapan yang keluar pun hanya sedikit lebih bagus dari asal bunyi. Inilah salah satu penyakit jurnalisme kita --dan juga narasumbernya.

Mau contoh? Dalam konteks ini adalah pernyataan seputar komputer DPR RI. Ada narasumber yang menyebutkan bahwa komputer mahal itu paling banter dipakai main facebook. Berita lain menyatakan bahwa komputer mahal itu hanya cocok untuk layouter, untuk setting image, design, dan desktop publishing belaka. Intinya, mempersoalkan produktivitas dan manfaat dari komputer DPR RI.

Jika dilakukan analisis isi, gamblang terlihat bahwa framming (pembingkaian isu) dalam masalah komputer DPR RI berada dalam garis delegitimasi. Setidaknya ramai-ramai menghasut sentimen pubilk untuk terus memperlakukan DPR RI sebagai musuh. Pencitraan dan opini publik yang dibangun adalah DPR RI sarang kerakusan dan ketamakan.... Kebetulan sejauh yang terlihat, pihak DPR RI lemah dalam melakukan hal ini. Lengkap sudah, mereka senantiasa menjadi bulan-bulanan massa.


Sederatan Fakta

Di tingkat paling dasar, berita-berita tentang komputer DPR RI bahkan gagal memenuhi "prinsip dasar jurnalisme", yaitu kecermatan. Jikapun berita komputer itu tidak berniat melakukan penyesatan informasi publik, maka paling pantas disebut berita keliru. Patut diketahui, pengadaan komputer tersebut bukanlah untuk properti pribadi Anggota DPR RI, melainkan sebagai alat penunjang kerja Staf Ahli Anggota. Nah, dalam pemberitaan, fakta ini sama sekali tak (ter)sebutkan.

Bagaimana dengan tuduhan "paling banter dipakai main facebook-an?

Setahu saya, komputer itu benar-benar optimal menunjujang kinerja. Dengan SDRAM mencapai 3-5 Gigabyte, Memori berkapasitas 350 Gigabyte, Printer Canggih, bisa scan, fax, tentu memudahkan urusan kerja. Cocok untuk mobilitas politik. Ingat, urusan Anggota DPR tak melulu berkutat di ruang rapat dan ruang kerja. Melainkan juga ke konstituen, mitra kerja, media, perguruan tinggi, termasuk juga dengan LSM dan pers. Kecapatan dan tampilan fisik yang baik, tentu menjadi harga mati.

Faktanya, tak mungkin terus menerus dipakai Facebook-an... Mana berani kita iseng berselancar di situs jejaring sosial, manakala pekerjaan bertumpuk, dan agenda bos sedang sibuk.

Berita lain yang segera terbantah adalah tentang penggantian komputer yang dilakukan dua tahun satu kali. Secara pribadi, saya tak mengalami hal itu. Komputer yang kini menjadi cadangan, HP compaq dengan processor Intel Pentium 4, sudah lima tahunan belum diganti. Bagaimana ini?

Pengharapan
Sudah tentu, paparan ini adalah pendapat pribadi. Meski tak tertutup kemungkinan disepakati oleh ratusan kawan-kawan se-profesi. Dalam kemelut perpolitikan yang kian rumit, mengapa harus berlelah-payah melakukan gugatan atas hal-hal yang tidak perlu (atau perlu, tetapi tidak substantif). Lagipula, ingat pesan Samuel Huntington, bahwa langkah awal mengahancurkan proses konsolidasi demokrasi adalah dengan terlebih dahulu melakukan delegitimasi terhadap proses dan lembaga demokrasi yang sah. DPR RI bukan musuh, mungkin lawan... Tapi jangan diabadikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar