Senin, Februari 22, 2010

Bahasa Politik DPR RI


Orang-orang eskimo di kawasan dingin kutub utara sana memiliki belasan kosa kata untuk menunjuk satu benda bernama salju! Mereka hidup dan beraktivitas di lingkungan berlapis es tebal, bahkan rumah mereka, disebut Igloo, juga terbuat dari bongkahan es! Sedangkan di belahan dunia lain, istilah untuk hamparan es abadi berwarna seputih kapas itu, paling hanya disebut dengan satu kata. Di Indonesia disebut salju. Sementara di dunia Arab disebut Tsalaj.


Contoh bisa dibalik. Di kawasan gurun sahara dan negara-negara Arab, binatang Unta sangat amat dibutuhkan. Tak salah jika Al Quran menyebut Unta sebagai bahan pelajaran akan keajaiban ciptaan Allah: Apakah kamu tidak memeperhatikan bagaimana Unta diciptakan? Keseluruhan tubuh unta, dari ujung kuku hingga bulu dan tulangnya, bisa dimanfaatkan oleh orang-orang gurun pasir. Malahan menurut Robert Lacey, dalam buku Negara Petro Dollar Arab Saudi, kotoran dan air seni Unta bahkan bisa dijadikan obat-obatan!


Dan mereka, para badui pengelana itu, memiliki puluhan kosa kata untuk menunjuk binatang berpunuk besar itu. Sementara kita, hanya satu kata saja: Unta! Atau Camel dalam Bahasa Inggris.


Satu lagi sebagai pelengkap. Di Indonesia, lantaran pendudukunya sangat akrab dengan kebiasaan makan, maka punya banyak kosa kata untuk menunjuk bahan makanan pokok mereka. Mulai dari gabah, beras, hingga nasi. Karena yang dimakan adalah nasi, maka ada belasan istilah untuk benda bernama nasi, yaitu nasi goreng, nasi tumpeng, nasi uduk, nasi liwet, nasi kucing, nasi (silahkan tambah sendiri), hingga nasi-hat dari Ibu dan Bapak, nasihat Ibu Guru, dan nahsiaaaan dech lo!


Relasi bahasan dengan alam, kaitan budaya dan bahasa, mengundang berpuluh-puluh teori. Tapi ada yang paling unik. Konon, keberagaman atau justru keseragaman berbahasa ditentukan oleh "tinggi-rendahnya" curah hujan!


Teori bahasa dipengaruhi curah hujan ini bukan omong kosong. Di gurun, karena hidup butuh mobilitas tinggi, berjuang untuk berkelana, berdiaspora ke daerah-daerah yang jauh, mereka butuh alat komunikasi yang simpel, agar memudahkan interaksi atar suku dan kawasan. Maka bahasa yang digunakan cukup satu dua saja. Berbanding terbalik dengan penduduk di kawasan subur, yang curah hujannya tinggi. Mereka merasa aman berdiam di lokasi masing-masing, dan mobilitas sosialnya rendah. Sehingga itu, mereka bisa membuat rupa-rupa bahasa. Sekalian untuk alat "klangenan". Inilah yang terjadi di Indonesia...


Kerasnya alam, corak nuansa budaya, dan bahkan iklim, bisa membuat dan memperkaya bahasa. Bagaimana dengan kekuasaan? Atau, tepatnya, bisakah politik membuat dan memperkaya bahasa?


Politik bukan hanya membuat, membentuk, atau memperkaya bahasa. Politik juga mempermainkan sekaligus merusaknya... (Persis anak-anak TK yang doyan mempermainkan dan merusak sesuatu).


Kalangan pengkaji bahasa politik selalu menyebut contoh fenomenal yang selalu disebut berulang-ulang (causa celebrare). Dulu, ketika Uni Sovyet berkuasa, mereka membuat kamus standar nasional. Khusus untuk lema (entri) revolusi, diterjemahkan atau dijelaskan panjang lebar, habis berlembar-lembar halaman, mulai dari sejarah, teori, pelaku, hingga metode revolusi! Wajar belaka, negara komunis terkuat di era lampau itu memang tumbuh dari akar revolusi Bolshevick oleh Vladimir Ilich Lenin dan Stalin. Anehnya, di luar negara komunis, bahasa atau istilah revolusi, diterjemahkan di dalam kamus secara singkat saja. Biasanya diartikan sebagai perubahan yang radikal, perubahan segera, atau perubahan dengan kekerasan! Dalam poiltik, ternyata, bahasa tak pernah netral.



Agak Ngeri
DPR RI hari ini memperlihatkan kebenaran bahwa kancah politik juga menjadi ajang mempermainkan sekaligus merusak bahasa!


Dengan agak ngeri, saya teringat kembali pengingatan dari George Orwel, bahwa bahasa politik adalah alat untuk membuat kebohongan terlihat menjadi jujur. Sekaligus membuat kelicikan dengan kesan sopan...


Namun yang lebih menyesakkan dada adalah pola kompromistis dan budaya permisif (serba menerima) dari rakyat kita, terhadap apa saja yang menjadi reproduksi kata-kata dari para politisi Senayan. Rakyat seolah hidup dalam memori keliru, bahwa bahasa tak akan berarti apa-apa, sekedar sebagai alat komunikasi. Terbukti, pengungkapan gaya berbahasa poiltisi DPR RI justru berkibar di media, dikonsumsi publik dan ditiru banyak orang. Celaka.


Sudah terlihat gejala pejal (banality, mati rasa) dalam berbahasa di panggung politik nasional. Dalam forum rapat resmi, seorang tokoh seenaknya memaki dengan bahasa kelas preman terminal, terdiri dari tujuh hurup, diawali hurup "b" dan berakhiran hurup "t". Reakasi keras sempat muncul, tetapi selesai begitu saja.


Atau juga, seoarang tokoh yang dikenal santun dan cerdas, menyebut istilah baru, bahwa Pansus adalah industri politik. Ini kelihaian berbahasa politik luar biasa. Sudah jelas urusan Pansus diatur konstitusi, tetapi malah disebut sebagai industri (dengan makna penyindiran).


Pendangkalan Bahasa
Maka hanya ketekunan yang cenderung kurang kerjaan saja yang akan sanggup mencatat reproduksi bahasa politik Indonesia hari ini. Betapa tidak, setiap tokoh punya istilah sendiri. Setiap lembaga, rajin menyodor bahasa sendiri, yang kadang-kadang asal comot asal pakai, tanpa memperhitungkan kualitas berbahasa.


Di DPR misalnya, belakangan berkembang istilah politik "masuk angin". Ini bukan berarti penyakit yang menjadi segemen khusus obat jamu orang pintar produksi Jamu Djago (milik Jaya Suprana). Masuk angin di sini justru enak, bukan dikerok, tetapi dikeruk, dengan uang, dengan fasilitas, dengan iming-iming jabatan. Bila rakyat curiga bahwa Pansus Bank Century masuk angin, maka itu berarti Angin Sorga sudah membuai...


Rentetan perisitilahan lain menderu-deru tiap waktu. Para politisi menciptakan kesan gampangan dan membuat wajar segala sesuatu yang sesungguhnya penuh aib dan nista. Bila ada politisi yang kemaruk, gasak kanan dan kiri, maka disebut bukan sebagai koruptor, tetapi kapal keruk! Kalau ada usulan rakyat yang agak rumit dimasukkan ke DPR, lantas tidak mendapat penanganan segera, maka jawaban yang muncul adalah istilah ini: itu bisa diatur! Dengan catatan: ikut aturan main si politisi.


Masalahnya, aturan main itu kerap dibikin melelahkan. Cobalah buka berbagai buku tentang metodologi atau bahkan kamus, cari kata tentang kesimpulan. Tidak akan jauh, bahwa kesimpulan adalah tahapan dan proses akhir untuk meringkas sebuah pekerjaan. Pekerjaan yang besar adalah justru dalam proses bagaian awal, pendahuluan, isi, lalu ujung. Kesimpulan menjadi sisi teringan dari pekerjaan besar.


Nah, bagaimana dengan DPR RI. Mereka mampu membalik semua logika itu. Kesimpulan akhir Fraksi, misalnya, yang ramai diperdebatkan hari ini, dibuat mendakik-dakik jauh ke ujung. Bahasa lalu dipermainkan, sesuatu yang sudah jelas dibuat rumit. Bayangkan, untuk membuat kesimpulan saja, butuh permainan opini publik yang melelahkan.


Terakhir, bagaimana dengan istilah menyebut nama?


Barangkali, baru sekarang ini masalah menyebut nama orang menjadi konsumsi politik yang luar biasa gencar. Untuk hal ini, maaf saja, saya tak bisa menjelaskan. Belum lengkap informasinya. Dalam permainan politik bahasa di DPR RI, agaknya, bisa terangkum dalam dua konsep besar. Masing-masing adalah: (1) terjadi pendangkalan makna bahasa atau kata (peyorasi), yang diwarnai dengan pengasaran makna bahasa (disfemia); dan (2) terjadi perlusan makna bahasa (ameliorasi) dengan praktek eufemia (pengahalusan bahasa). Agaknya, praktek seperti itu masiht terus berlangsung. Beginilah nasib Bahasa Indonesia....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar