Kamis, Februari 11, 2010

Valentine Day Ala The Jakarta Post


"Lho, kok, Valentine Day cuma ngasih kado The Jakarta Pos?"

Sergah seorang Ibu kepadaku, beberapa tahun lalu. Tak ada bayangan apapun, bahwa si Ibu akan menanyakan sesuatu yang selama ini telah jauh dari file memori aku: Hari Kasih Sayang, Valentine Day. Bukan apa-apa, menjelang usia Life Begin At Fourthy ini, pikiran lebih padat dengan urusan pekerjaan dan... utang!

Sialnya, jawaban cerdas untuk menghindar tak jua datang.

Memang sepenuhnya tak siap. Datang ke rumah si Ibu, seraya membawa koran The Jakarta Post justru memenuhi amanat. Seorang gadis muda, cantik, mahasiswi jurusan bahasa Inggris di Untirta Banten, anak dari Sang Ibu itu, menitahkan sebuah amanat. Disampaikan via SMS berbahasa Anak Baru Gede ---dan sempat membuat kening mengernyit, lantaran tak mengerti. Maklumlah... Posisi seorang pria dengan dua anak, sudah jauh dari gaya bahasa ABG. Kalau tak salah, deretan hurup di layar HP aku itu bertuliskan:

bang, mnta tolong dunk, bawain koran english. q da tugas kampyus neeeh. plis, plis, plis :)


Dengan semangat 45, pesanan itu kupenuhi. Mencari koran Inggris terbitan Grup Gramedia Kompas itu semudah meniup kapas di ujung jemari. Nggak pake beli pula, tinggal ambil. Dorongan lain yang menggelegak adalah bersitatap muka dengan perempuan muda...

Tapi mengapa seorang Ibu, tepatnya Ibu Hajjah, iseng menyentak dengan kalimat "kado Valentine cuma bawa koran?" Padahal dia tahu persis tak mungkin anak gadisnya mendapat sesuatu dari seorang pria yang sudah berumah tangga? Kalau urusannya bercanda, jangan-jangan memang benar, perayaan V-Day telah menjadi milik umum. Bukan spesial pasangan lajang. Tetapi juga untuk laki-laki beristeri kepada perempuan belum bersuami. Artinya, boleh saja saya (jika suatu saat kepikiran), tiba-tiba memberi kado V-Day kepada seseorang (yang sosok, penampilan, dan statusnya, saya tentukan sesuai selera). Ah... mudah-mudahan jangan sampai begitu.

Gawat perkara, kalau budaya Hari Kasih Sayang sudah seliberal itu. Cowok lajang memberi kado cokelat kepada isteri orang; gadis cantik muda perawan meminta hadiah kepada seorang yang dipanggil keponakannya paman; atau seorang kakek mengirim bunga dan cokelat kepada cucu perempuan orang lain... Setahu saya, belum ada film, buku, sinetron, dan iklan yang mengajari "kekurangajaran" seperti itu.

Sumber diskusi memang si Ibu.

Di usia yang telah jauh dari The Golden Age untuk seorang perempuan, masih juga kepkiran V-Day. Tahu dari mana? Dengan wawasan lengkap pula, bahwa hari 14 Februari itu mesti memberi kado. Jangan-jangan, Ibu Haji (biasa aku panggil begitu), paham secara seksama bahwa hadiah V-Day yang paling cocok adalah sebungkus cokelat dan sekuntum mawar... Bukan The Jakarta Post itu!

Mudahnya adalah dengan menuding televisi, iklan, tayangan selebritis, dan rupa-rupa barang publikasi lain. Hari-hari terakhir ini, bahkan produsen barang yang tak ada jalin-hubungan dengan urusan kasih sayang sekalipun, mempublikasikan produknya dengan warna-warni dan atribut V-Day. Seperti iklan cat, perusahaan asuransi, dan produk perawatan tubuh.

Pointnya adalah: kedahsyatan media massa.

Bukan kita yang mendefinisikan apa yang kita mau, barang apa yang dibutuhkan, dan agenda seperti apa yang layak dilakoni. Media redefined our life. Teori klasik dari komunikasi massa memang meningatkna tentang hal itu. Disebu dengan teori Jarum Hypodermik. Kita, massa penonton, seperti pasien yang disuntik serum, terpengaruh begitu saja.

Hari ini babak baru daya terpa media semakin menggila. Bukan saja media "mengajari" tetek bengek gaya hidup kita. Menunjukkan mana barang bagus dan mana komoditas kuno. Menawari dengan desain bagus, makanan apa yang perlu dan cemilan apa yang tak bermutu. Mengajak atau membujuk pergi ke tempat anu dan meninggalkan tempat anu. Pendek kata, kalau mau eksis, hiduplah seperti kehidupan dalam publikasi media.

Akhirnya, media massa bukan saja mendefinisikan bagus dan tidak bagusnya sesuatu untuk kita ikuti atau tiru, tetapi juga memanipulasi instink dan naluri kita yang paling purba sekalipun!

Kasih sayang adalah instink, its perfectly human. Hubungan emosional antar sesama adalah hukum naluriah. Tetapi media memanipulasi dengan (sebenarnya) cara-cara kasar. Maksudnya kasar dalam tujuan tetapi lembut membujuk dalam pengemasan.

Misalnya perayaan Valentine Day.

Media massa dan para punggawanya tahu persis, dari ujung Papua sampai pelosok Maroko, orang tahu berkasih sayang. Tetapi, ini dia, caranya berbeda-beda. Mungkin disertai keunikan, gaya khas, kental tradisi, dan disertai filosifi dan makna mendalam. Media tak berurusan dengan keragaman cara berkasih sayang seperti itu. Lantaran tidak komersial dan jauh dari peningkatan taraf gengsi. Maka jalan pintasnya adalah mengajari cara dan kemasan berkasih sayang.

Media mengemas V-Day dengan nuansa, atribut, warna, tema, bahkan hari dan tanggal dan waktu dengan semirip mungkin. Kalau pun ada perbedaan, hanya dalam urusan teknis tambahan. Itulah yang hadir dalam film, lagu, showbiz, pesta, dan segala barang dagangan di televisi dan Mal.

Di sini hukum monopoli berlaku. Seakan momen kasih sayang paling "menyentuh-mengharukan" adalah V-Day. Lalu harus dipestakan beramai-ramai di setiap pojok planet. Padahal, tak jelas benar, di mana sosok heroisme dan keteguhan nilai V-Day? Sejarahnya sekalipun masih kontroversial. Semangat kasih sayang yang universal, sejatinya, tidak berbentuk tunggal. Melainkan beragam tema dan berbagai cara. Bukan melulu sekotak cokelat dan setangkai mawar...

Jika bersumber dari narasi sejarah dunia, tak kurang cerita yang mengharu biru dengan tema kasih sayang ---terkhusus antara pria dan wanita muda. China mengenal Sam Pek Eng Tay, di Jawa ada Roro Mendut, di Bali, di Sunda, di India, atau bahkan spirit Romeo Juliet, jika urusannya adalah mesimbolisasikan kasih sayang. Tetapi hikayat-hikayat ini kalah komersil oleh V-Day.


Tambahan lain, betapa terkuras naluri purba manusia untuk berlomba menghabiskan energi dan potensi diri ke arah pemujaan terhadap barang! Pengidolaan terhadap komoditas jualan dan pesona kecantikan sensualitas adalah tradisi lama dengan kemasan (selalu) baru. Lagi-lagi media mengeksploitasi gairah ini.

Bila begitu, kini saya memaafkan Sang Ibu dan juga anak gadisnya. Mereka juga adalah bagian dari manusia yang penglihatan, pendengaran, dan juga mimpi-mimpinya, telah dibantu dengan intensif untuk mengikuti selera media massa. Happy Valentine Day for All...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar