Senin, Agustus 30, 2010

Bung Sjahrir Yang Sunyi dan Penuh Tragedi



Buku baru tentang Soetan Sjahrir ini layak menggedor kembali memori publik tentang perebutan kemerdekaan yang begitu penuh prahara. Namun di luar penceritaan seumumnya, yang mengibarkan pergolakan mengharu biru, serta heroisme para pemuda, buku ini justru masuk dengan plot berbeda. Bahwa sejatinya, Revolusi Indonesia adalah penuh warna. Tak selalu ramai, melainkan bisa sunyi —-yang dilakoni oleh orang-orang yang kesepian, salah satunya adalah Soetan Sjahrir.

Berhentilah dengan bayang-bayang “sinematografik” bahwa kemerdekaan Indonesia melulu dengan darah, mesiu dan bambu runcing. Kita menganggap faktual, tentang Bung Tomo, Tan Malaka, Soedirman, atau tokoh-tokoh lain yang meletupkan perlawanan gigih mengusir penjajah. Tetapi, itu bukan satu-satunya pola. Jiwa revolusioner dan anti kolonialisme juga bergerak dengan polaritas yang banyak. Ada pihak yang tekun berpikir. Giat berdiplomasi. Menjaga teguh moralitas. Dan prihatin terhadap mentalitas “budak” yang mengidap anak bangsa secara parah.

Buku ini penting untuk menyelamatkan memori terbatas bangsa ini. Bahwa jangan sampai Revolusi Kemerdekaan jatuh sebagai mitos, legenda, dan hanya layak menjadi latar film-film perang (yang menguarkan asap mesiu, letupan bedil, atau bambu runcing).

Seorang Sjahrir, pejuang, dipolomat, pemikir, dan entah apalagi sebutan yang layak ia sandang (oh, ya, iya juga oleh kolega dekatnya biasa disebut Bung Kecil), adalah tokoh yang merebut panggung pergolakan kemerdekaan dengan cara berbeda. Si Bung Kecil yang berwajah simpatik, cerdas, dan humoris ini tentu tidak mengasah pedang atau mengukir bambu runcing untuk ditusukkan ke ulu hati penjajah Belanda. Ia bergerak dengan caranya sendiri. Bahwa revolusi tidak selalu rusuh. Tetapi bisa dengan tertib dan teratur. Kepada salah seorang rekannya, ia mengatakan: “Revolusi tidak mungkin diadakan sembarang waktu menurut kehendak nafsu si pemimpin yang gila berontak. Kalau memang mau berhasil, perjuangan harus tertib dan teratur (halaman xxv, Kata Pengantar oleh Subadio Sastropratomo).

Tentu saja ini adalah pilihan berat dan pahit, olehnya selalu berlangsung sunyi sendiri. Dalam sejarah, selalu ada tipe seperti ini. Seperti M.T. Kahin membuat tipologi solidarity maker (tokoh yang mampu menggalang emosi massa, seperti Bung Karno), dan tipe administratif maker (seperti Sjahrir dan Bung Hatta). Sjahrir agaknya tipe administratif maker ini, yaitu bergerak secara rasional dan terukur. Sekali lagi ini adalah pilihan pahit, dan dibenci oleh “kaoem republiken” lainnya. Karena tidak sepadan dengan jiwa zaman (zeitgeist) massa itu, yang bergolak dan emosional. Prinisip rasional ala Sjahrir sudah pasti juga tidak merakyat.

Namu berbeda dengan Mohammad Hatta, meski sama-sama pemikir, Sjahrir terlalu banyak musuh politik. Ia bukan hanya dibenci oleh misalnya PKI (yang tiga kali mengguntingnya), tetapi juga oleh Bung Karno dan kalangan muslim sekaligus. Majalah TEMPO Edisi Khusus 17 Agustus lalu seolah meneguhkan kebencian beberapa pihak kepada Soetan Sjahrir, diantaranya adalah para pemberontak DI/TII pimpinan Marjan Kartosoewiryo, yang menolak isi Perjanjian Renville versi Sjahrir. Lengkapnya, terpapar di halaman 189 dari buku ini.

“Sjahrir sangat dibenci oleh orang orang Komunis dalam PI (Perstoean Indonesia), yaitu Rustam Effendi, Setiadjid, dan Abdul Madjid. Hal ini berulang di kemudian hari, ketika ia menjadi Perdana Menteri, dan juga di awal pergolakan 65, ketika PKI mendorong Soekarno untuk membubarkan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Selain itu, Sjahrir adalah orang yang berkali-kali mengalami bentrok dan keributan langsung dengan Bung Karno, oleh sebab itu wajar, Bung Karno juga membenci Sjahrir (halaman 63). Menurut Bung Karno, Sjahrir adalah orang yang tidak setia. Pernyataan ini dikeluarkan Bung Karno gara-gara Sjahrir pulang sendiri tanpa melepor ke Bung Karno, ketika ia menghadap utusan dari Belanda.”

Lalu apakah sikapnya itu kontra produktif? Tunggu dulu. Bagi siapapun yang mempelajari dengan detil bagaimana perundingan Meja Bundar dimenangkan, bagaimana Diplomasi Beras antara India dan Indonesia berlangsung, dan dua hal itu menyelamatkan muka republik di kalangan dunia internasional, pasti akan bersyukur dengan peran Sjahrir. Lagipula, tokoh ini tak kurang-kurang radikal. Sesuai dengan akar kata radikal, yaitu radix, tuntas hingga ke akar-akarnya, maka Sjahrir adalah radikal dengan prinsip, bahwa tak ada kata kerjasama dengan para kolonialis. Mohon dicatat, dari sekian banyak pejuang nasional waktu itu, Sjahrir adalah salah satu orang yang paling dicari Tentara Dai Nippon Jepang, karena menolak bekerjasama.

Barangkali konsistensi Sjahrir adalah berurat berakar dari pembacaannya atas watak Bangsa ini. Di tengah kentalnya kultur feodalis, karakter yang remuk karena penjajahan, maka tak boleh revolusi jatuh ke tangan orang-orang gila kuasa. Tokoh ini menolak jalan coup d’ etat, menggunting jalan sejarah dengan lumuran darah. Sjahrir sepertinya hendak memberikan pendidikan politik kepada bangsa ini. Untuk melewati pergolakan dengan sabar, sistematis, dan “proyek jangka panjang”. Kosa kata inilah, “proyek jangka panjang”, yang tidak cocok dengan tabiat Bung Karno, Tan Malaka, serta beberapa pejuang nasional lainnya.

Jalan sunyi inilah yang kemudian membuatnya terpuruk. Ia jatuh sebagai pesakitan. Dipenjara oleh kumpeni Belanda, diburu Jepang, diteror PKI, dan dipenjarakan oleh Bung Karno. Ia bahkan menghembuskan nafas terakhir jauh dari negeri yang dicintainya, yaitu di Swiss.

Sungguh tragedi, yang melampaui kredo “revolusi memakan anak sendiri”. Sjahrir bukan saja dimakan oleh kemaruk politik sesama anak bangsa. Tetapi sekaligus begitu terbatas apresiasi dan pengenalan anak bangsa sesudahnya. Anak-anak muda sekarang bahkan mungkin harus terbata-bata mengeja nama Sjahrir, berbeda bila mereka menyebut tokoh-tokoh lain.

Takdir menjadi kesepian ini sesungguhnya berbeda dengan tabiat sejati Sjahrir. Manusia besar ini justru tak tahan dalam kesepian. Pengakuan Bung Hatta, yang selama sepuluh tahun menjadi tokoh buangan di Boven Digoel, Banda Neira, dan Soekaboemi, bisa bercerita banyak. Menurut Bung Hatta, selama dipembuangan, Sjahrir mengangkat anak, masing-masing Ali, Lili dan Mimi, sebagai teman mainnya. Selama di pengasingan itupun, ia akrab bergaul dengan anak-anak muda, hingga sempat membuat koperasi dan Klub Sepakbola. Demi mengisi waktu kosong, Sjahrir rela memasak, menjahit baju, dan mengajari anak-anak itu berbagai mata pelajaran (halaman 179).

Catatan penting dari buku ini adalah (sekali lagi) pengingatan bahwa perjuangan dan proyek politik tak harus “grasa-grusu”. Bukan apa-apa, bila segala dobrakan politik bermain satu kali pukul, terlalu banyak orang oportunis yang terlibat. Seperti dalam Revolusi 45, seperti yang ditulis Y.B. Mangoenwijaya, adalah hiruk pikuk penculikan, intrik, intimidasi, pencurian dan penggarongan. Tidak semua adalah pahlawan, karena banyak pula pecundang. Terakhir, buku ini ditulis dari kumpulan catatan sejumlah tokoh, yang terlibat langsung, berinteraksi, atau menjadi anak didik Sjahrir. Dengan kata lain, diantara buku sejenis, inilah buku tentang Sjahrir yang otoritatif.

Informasi Detil Buku:

Judul : Mengenang Sjahrir, Seorang Negarawan, Tokoh Pejuang
Kemerdekaan, yang Tersisih dan Terlupakan
Editor : Rosihan Anwar
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2010
Tebal : xlv + 469 halaman

1 komentar: