Selasa, Agustus 24, 2010

Tentang Anak Saya Melawan Isu Penculikan



Ini senyatanya pengalaman pribadi, tentang saya, anak saya, isteri dan lingkungan tetangga. Dua minggu sebelum dua orang tak berdosa dibakar hidup-hidup, hanya belasan kilometer dari tempat tinggal saya, yaitu di Kecamatan Kresek (tetangga Balaraja) Kabupaten Tangerang, beredar sejumlah SMS iseng, tentang penculikan anak.

Tak ada yang bermanfaat dengan SMS iseng itu. Bahkan celaka. Isinya terlampau provokatif. Menebarkan horor tentang anak-anak yang hilang, yang diculik, lantas ditemukan dengan bola mata dicungkil, jantung terogoh, dan ginjal yang hilang. SMS beredar dari nomor ke nomor, dari orang ke orang, dari pribadi ke pribadi. Lalu mengular dengan berbagai versi (mesti inti pesannya adalah penculikan anak). Ada yang mengatasnamakan Kepala Desa, mencatut nama Kapolres, dan bahkan hebatnya mengutip peringatan dari Malaysia (tentang orderan rumah sakit di sana yang butuh organ tubuh anak-anak dari Indonesia).

Persis dua minggu saja untuk kemudian lahir horor nyata!

Sebelum peristiwa pembakaran manusia tak berdosa di Desa Tamiang, Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang, Banten, terjadi dua peristiwa yang mestinya menjadi peringatan semua pihak untuk bersiaga. Bukan dengan menyiapkan golok atau bensin, melainkan membangunkan akal sehat.

Sebuah mobil AVP Hitam, dengan pelat nomor sekian-sekian dibakar masa di Kecamatan Jayanti, juga masih di Tangerang. Konon itu adalah mobil para penculik. Lalu, beberapa hari berikutnya, warga Kecamatan Balaraja yang heboh —karena menemukan mobil sejenis yang diparkir di tempat gelap. Lagi-lagi, konon itu adalah mobil para penculik. Hasilnya: orang-orang yang memiliki APV hitam di Balaraja dan sekitarnya benar-benar ketakutan. Mereka tak berani menggunakan mobil itu, karena takut diamuk massa.

Dua peristiwa itu mestinya menggiring akal sehat masyarakat Tangerang bangkit. Lalu disertai ikhtiar untuk melacak kebenaran isu keji yang sudah berusia dua minggu. Saya sendiri, langsung mengecek ke sebuah Desa, yaitu Desa Saga, Balaraja, tempat sumber isu tentang temuan APV hitam yang akan menculik anak-anak. Ternyata adalah lelucon. Mobil itu adalah milik orang yang akan berziarah. Lantas isu tentang anak-anak yang akan diculik tak lain adalah kekonyolan khas anak-anak. Mereka malam itu main petak umpet, lalu salah satu anak menangis karena dikerjai kawan-kawannya. Lantas anak itu pulang sendiri. Entah bagaimana ceritanya, lalu beredar isu bahwa anak itu menangis karena berhasil lolos dari sasaran penculikan. Gila…

Tentang SMS itu, jika dinalar dengan kritis sebenarnya tak perlu menjadi horor dan menelan korban begitu banyak. Tetapi yang mengherankan, tetangga saya, lingkungan saya, dan hampir semua orang yang saya tanyai di Balaraja dan sekitarnya bersikap sama. Mereka seolah menikmati isu penculikan itu. Seraya tak lupa menambah-nambahkan beragam versi. Tak pernah ada keinginan melakukan verifikasi dan pembuktian.

Satu peristiwa adalah begini. Saat menunggu buka puasa, kawan saya menerima sms tentang penculikan di desa sebelah. Sumber sms adalah kawannya yang sedang berada di pabrik. Anehnya, kawan itu percaya total. Padahal, bagaimana mungkin pesan itu bisa dipercaya, sebab sumbernya adalah kawannya yang tak ada dilokasi tempat isu penculikan itu dilakukan, melainkan sedang bekerja di pabrik. Lebih mencengangkan, lokasi isu penculikan adalah sangat dekat dengan lokasi kami berada. Jadi, bukannya ia segera pergi mengecek, malah lebih percaya isu dari kawannya. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala.

Bagaimana tanggapan isteri saya dan anak saya yang sekolah di TK?

Ketika rantai isu bergulir, saya tengah menikmati kebanggan terhadap anak sulung saya, yang sekolah di TK. Ia hampir setiap saat bernyanyi dengan riang. Lagunya begini: Helikopter jalannya muter-muter, anak pinter sekolah tak dianter…

Mengapa saya bangga? Anak saya adalah satu-satunya yang berani pulang dari sekolah sendiri, tanpa diantar! Ia diantar Ibunya hanya ketika berangkat. Apa yang dilakukan anak saya seperti melawan “kehobohan” di lingkungan kami tinggal. Tiba-tiba saja anak-anak SD sekalipun ditunggu orang tua atau saudara mereka —gara-gara isu penculikan itu. Semua nampak panik dan khawatir. Tetapi saya tidak. Karena memang tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tak ada juga yang diuntungkan, kecuali beberapa tetangga yang berprofesi sebagai tukang ojek (mereka kebanjiran order antar jemput!).

Lalu sempat pula isteri disergap rasa khawatir. Tetapi saya bilang, jangan sampai menakut-nakuti anak saya. Biarkan ia pulang sendiri. Kalau tetap mau jemput, jemput saja tapi jangan gabung dengan “para Ibu lain disekolah”. Ambil saja posisi yang agak jauh. Yang penting, anak saya tetap bisa konsisten dengan keriangan yang ia nikmati, bahwa ia adalah “anak pinter karena sekolah tak dianter!”

Alhamdulillah, isteri nurut. Ia “terpaksa” menjemput, tetapi tidak di gerbang sekolah, melainkan agak jauh (yang penting bisa mengawasi). Ini adalah kompromi adil, saya pikir. Artinya, isteri tetap bisa melepas nalurinya untuk melindungi, dan anak saya tetap terjaga kebanggaannya (dengan lagu helikopter muter-muternya itu).

Mengapa saya se-ekstrim itu, dan seperti sama sekali tak khawatir?

Begini, sesungguhnya kecut juga. Karena ketika meriset di internet dan membaca buku yang ada di DPR (sebuah jurnal tepatnya, tentang perdagangan anak, atau Child Traficking), memang ada poin yang menyebut bahwa modus penculikan anak adalah untuk diperdagangkan. Misalnya untuk dieksploitasi sebagai tenaga kerja murah, untuk dijadikan “hamba prostitusi”, dan juga untuk jual beli organ tubuh. Betul ada poin yang sama dengan teror SMS penculikan di Tangerang, yaitu anak-anak diculik untuk diambil organ tubuhnya.

Tetapi, saya membaca dengan cermat. Bahwa prosentasenya sangat kecil. Tak disebut-sebut pula bahwa Tangerang adalah simpul perdagangan. Melainkan lokasi yang sering dijadikan pasar penculikan adalah daerah-daerah perbatasan, di Kalimantan atau Sumatera. Lalu ada juga informasi persi KOMNAS ANAK, tetapi hanya berita tentang adanya laporan penculikan anak. Mereka sendiri belum melakukan verifikasi lapangan.

Selain meriset informasi, saya juga langsung melacak kebenaran isu ke sumber-sumber otoritatif, yaitu kepolisian. Berhubung sering ada SMS yang mengatasnamakan Kapolres, ya, saya tanya ke “anak buah Kapolres”, yang kebetulan kawan bermain saya kalau menunggu sahur (main PS 2, Winning Eleven). Ternyata, itu hanya isapan jempol. Belum ada bukti. Sama belaka dengan isu yang mengatasnamakan Kepala Desa, saat ditanya, tak ada yang mengaku.

Apa makna semua ini?

Peredaran isu culik anak ini adalah di Bulan Suci, di saat perintah bersabar dan menahan diri menjadi pokok utama. Tapi seolah tak ada sisa apapun yang tertinggal di masyarakat Tangerang. Mereka seolah termakan oleh fantasi yang diproduksi sendiri. Sumber SMS adalah dari mereka juga, lalu diolah, diedarkan, digosipkan, dan tiba-tiba menjadi horor yang diciptakan sendiri.

Tanpa dosa, penerima sms menambahi cerita tambahan, lalu dikirim lagi ke orang lain. Begitu seterusnya. Mereka seperti mengingkari pesan Rosululloh untuk melakukan proses Tabayun, yaitu periksa dan cek kebenaran sebuah informasi.

Satu lagi yang saya amati. Semoga tak terjadi di tempat lain. Masyarakat Tangerang seperti membutuhkan sarana untuk menguar-uarkan “naluri” bergosip. Mereka sadar dan tahu bahwa itu bohong. Tetapi digosok terus. Disertai dengan canda, tawa, dan adu pintar merekayasa cerita. Lantas hilang itikad untuk sedikit saja melakukan pengetesan. Misalnya seperti yang saya lakukan, melacak langsung ke sumber gosip. Bila begini, apa namanya jika bukan kegilaan terhadap isu? Atau kebodohan menyikapi isu? Saya semakin bangga dengan anak saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar