Sabtu, Agustus 28, 2010

SBY, Saatnya Pindah Quadran, Menjadi Presiden Efektif



Jika diibaratkan pengemudi, maka Presiden SBY adalah sopir yang beruntung. Ia berada di jalan lempang yang begitu mulus, karena struktur konstitusi menjamin masa jabatannya hingga tuntas, tak bisa distop sembarangan hingga berakhir nanti (2014).

Pun dengan kelengkapan untuk “tancap gas”, sangat lengkap bin mumpuni. Ia berhak menunjuk para pembantu (para menteri) untuk ikut dalam mengemudikan “perjalanan bangsa”.

Seorang “kenek” pendamping supir utama, sebagai “ban serep”, juga selalu siap menemani atau sesekali mengganti tugas-tugasnya, yaitu seorang wakil presiden. Lagipula, bukankah SBY mengantongi SIM yang begitu sahih, yaitu dukungan mayoritas rakyat Indonesia ---dalam Pilpres 2009 lalu. Satu lagi keberuntungan SBY, yaitu punya “kendaraan politik” begitu kuat, bernama Partai Demokrat. Sekali lagi, jika seorang presiden adalah pengemudi tunggal kendaraan Republik Indonesia, maka SBY adalah supir yang beruntung.

Analogi ini tentu tak main-main. Mari berhitung. Setidaknya dirunut dari Habibie, Gus Dur, dan Megawati, ia naik podium kepresidenan dalam konteks politik yang jauh lebih stabil (dibanding era sebelumnya). Ketika ia unggul dalam Pilpres langsung, maka struktur konstitusi kita sudah selesai diamandemen, dan terjadi purifikasi (perbaikan) atas berbagai kelemahan sistem presidensialisme. Kelemahan presidensialisme, yaitu masalah legitimasi politik, ia peroleh mutlak ---karena dipilih langsung oleh jutaan penduduk. Begitu juga hak, kewenangan, sudah selesai diatur Undang-Undang Dasar. Berkah lain, dari amandemen konstitusi yang memperkuat posisi presiden, adalah posisi kelembagaan presiden, beserta wakil presiden, serta para menteri-menterinya. Satu hal terpenting, ada pemisahan kekuasaan (separation of power) yang tegas, antara Presiden dengan Legislatif. SBY pula, yang ketika naik, berposisi sebagai chief of executive, sebagai kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan.

Tegas-tegas bahwa akumulasi kekuasaan berada di tangannya. Tentu, jika saja mau, ia berhak mengelola kekuasaan kepresiden secara tegas dan efektif. Pilihan ada di tangannya, menggunakan cara-cara hard power, soft power, atau malah kompromistis ---dan tersandera oleh Partai Politik. Satu saja yang harus dihindarinya, yaitu menabrak rambu-rambu konstitusi.
Lalu kita melihat dengan miris. Sang sopir terlalu sering mengerem, atau bahkan memarkir kekuasaannya, untuk terlalu sering “menjamu” kehausan politik dari para rival.

Presiden SBY tersandera oleh jebakan Presidensialisme Reduktif, alias system presidensialisme yang lemah.

Memang galib saja, seorang Presiden seperti SBY mengahadapi rupa-rupa turbulensi atawa goncangan politik, seperti saat ini yang berhembus menderu-deru. Beragam serangan, isu, fitnah, kritik, dan serangan datang berhamburan. Sumber petaka politik bisa datang dari segala pojok, mulai dari politisi parpol, koalisi parlemen, LSM, demonstrasi publik, hingga ancaman pembangkangan massa dan aksi-aksi terorisme.

Tetapi seorang SBY juga memiliki perangkat yang memungkinkan ia berlindung, seraya tetap menjalankan roda pemerintahan secara efektif. Asal saja, seluruh agenda dan program pemerintahannya pro rakyat, rasanya jauh jika dirinya harus terjungkal.

Namun justru fenomena “low presidentialisme” yang mengemuka.

SBY cenderung terlampau lunak, ragu, kompromistis, lalu sibuk dibalik pembedahan operasi pencitraan.

Posisi yang berlawan-lawanan, antara struktur konstitusi presidensialisme dengan struktur politik kita yang multipartai, selalu menjadi sumber tudingan atas sikap SBY yang peragu. Para pembela SBY berkilah bahwa sumber instabilitas dan gangguan datang dari pihak eksternal (politisi parpol, koalisi yang tidak patuh, loyalitas ganda para menteri, dan celah politik lain yang dimanfaatkan untuk menyerang presiden). Pertanyaannya: bila memang semua hal itu adalah niscaya hadir, mengapa tidak dilawan?


Kurang lebih, buku ini menyediakan jawaban atas peluang SBY untuk pindah quadran, dari jebakan presidensialisme lemah (reduktif) menjadi presidensialisme efektif (catatan, semuanya harus berporos kepada kepentingan anak bangsa, bukan klan atau kelompok).

Menurut buku ini (halaman 273), SBY bisa memperkuat posisinya dengan cara: (1) melarang menteri rangkap jabatan, agar mereka membuat sikap “loyalitas ganda” atau “bermain di dua kaki”. Menteri harus loyal terhadap presiden, bukan kepada partai tempat asalnya. Ini penting, agar program pemerintah jalan bergegas dan mengena. Lalu (2) Memaksimalkan segala kewenangan dan veto yang dimilikinya. (3) Melembagakan kewenangan posisi wakil presiden. Rumusan ini berpusar pada energi kuasa presiden secara internal, artinya berpusar pada lingkungan kepresidenan.

Lantas, seputar gangguan politik dari luar, SBY juga berpeluang untuk meredam perkara menjengkelkan itu. Menurut buku ini, yang ditulis oleh seorang cendekiawan muda Alumni UGM, yaitu Hanta Yudha AR, adalah dengan memunculkan strong presidentialisme, presidensialisme yang kuat. Bagaimana?

Tak lain secara konseptual, adalah mensinergikan presidensialisme yang kokoh (dan sudah dijamin oleh konstitusi), dengan struktur politik di parlemen, plus menerapkan personalitas atau gaya kepemimpinan yang kuat pula.

Satu-satunya masalah di luar dirinya adalah struktur politik kita yang multipartai. Namun, dalam perkembangan politik, bukankah sudah berangsur menjadi sederhana, tidak lagi seribet dulu? Kini sudah terjadi penyederhanaan fraksi di DPR. Peta kekuatan juga sudah jelas, yaitu partai oposisi (PDIP), dan partai pendukung (Demokrat dan “terkadang” partai lainnya). Secara struktur, relatif peta kekuatan tidak bermasalah. Justru menjadi bergelombang karena karakteristik presiden yang rapuh, kompromistis, dan over akomodatif. Hingga sebentar-sebenatar muncul hak angket, hak interpelasi, dan gangguan dari DPR. Padahal, ujung-ujungnya adalah berbagai kekuasaan.

Output dari lanskap politik sedemikian, justru menyandera SBY untuk mampu menggolkan program-program terbaiknya. Karena, tawar menawar politik, menjauhkan SBY dari dukungan kabinet (yaitu para menteri) yang memenuhi kaidah meritokrasi (professional) dan kehilangan sifat zaken cabinet (cabinet yang kompeten), seperti terpapar di buku ini pada halaman 53. Contoh telanjang adalah tragedi terusirnya Sri Mulyani dari bangku kabinet, hanya gara-gara tukar guling kasus politik.

Buku secara sistematis dan lengkap menjadi bacaan yang bagus untuk menguliti sikap gamang presiden. Buku ini adalah karya skripsi penulisnya di Kampus UGM. Akan tetapi, sangat kaya contoh, konsep teoritis, dan pemaparan yang detil. Ditambah lagi dengan dua kata pengantar, masing-masing dari Amien Rais dan Anis Baswedan.

Amien Rais, dalam kata pengantar buku ini (halaman xxii), memberikan ilustrasi menarik, tentang sikap Abraham Lincoln, Presiden AS, yang merangkul lawan-lawan politiknya untuk duduk di kabinet, dengan satu syarat: mereka harus setia, bekerja untuk kepentingan rakyat banyak, bila melenceng, langsung dipecat! Lalu bagaimana dengan keributan Kongres (atau DPR RI, jika di Indonesia). Mudah saja: kalau bagus diikuti, kalau buruk tinggalkan. Bilakah kita melihat SBY seperti Lincoln?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar