Sabtu, Agustus 07, 2010

Teladan Puasa dari Kisah Bung Hatta


Sri Mulyani Indrawati pernah membuat analisis bagus, bahwa salah satu faktor kebangkitan ekonomi nasional di periode awal paska krisis moneter (sekitar Tahun 1999 hingga 2001) adalah karena adanya semangat "menunda berkonsumsi". Kala itu, mau tak mau, rakyat harus menahan diri untuk tidak menguras pundi-pundi hartanya untuk sesuatu yang tak terlalu perlu. Transaksi ekonomi, karenanya, menjadi terjaga, jauh dari spekulasi dan penghamburan.


Entah benar atau tidak analisis itu. Tetapi satu hal jelas, Indonesia tak jadi bubar.


Soal menunda konsumsi itu juga pernah tercantum dalam pesan-pesan mulia Bung Hatta. Tokoh proklamator yang namanya hanya diberi atribut sebagai Bapak Koperasi itu (dan nama belakang sebuah bandara di Jakarta), menyatakan bahwa Rakyat Indonesia harus pandai menunda hasrat berlebihan dalam mengkonsumsi.


Sebagaimana takalimat beliau yang lain, yang tak melulu indah dalam kertas, tetapi terang dalam perilaku, ia buktikan sendiri perjuangan menunda konsumsi itu. Siapapun yang rajin membaca kisah-kisah Bung Hatta, pasti mengenal yang berikut ini.


Pertama, tentang Sepatu Merk Bally. Ada kisah, Bung Hatta menggunting sepotong iklan dari koran, ia simpan baik-baik dan disisipkan di meja kerjanya. Guntingan "pariwara" koran itu adalah tentang produk sepatu Bally yang ia idam-idamkan ---tetapi belum bisa membeli. Bahkan hingga akhir hayatnya, guntingan koran itu tetap setia sebagai iklan, dan sepatu idaman itu tak beralih menjadi milik Bung Hatta. Barangkali ini kisah yang tak akan pernah terulang. Mengingat saat ini, wakil Bupati di daerah pelosok sekalipun, sudah sanggup membeli Prado (ini bukan sepatu, tetapi mobil mewah!).


Bisa saja kita berspekulasi, bahwa kalau Bung Hatta mau menggunakan posisinya, berapa banyak pengusaha yang sanggup mengirimkan berlusin-lusin sepatu Bally ke rumahnya? Tetapi si Bung sanggup menahan diri. Menunda konsumsi...


Kedua, sewaktu di pengasingan, Bung Hatta sangat "dibenci" oleh sahabat-sahabatnya hanya gara-gara soal air di kolam pemandian. Si Bung tahu persis, berapa gayung harus dikucurkan untuk membersihkan seluruh tubuh. Ia memperlakukan air dengan sangat hemat. Wakil Presiden pertama RI itu marah jika kawan-kawannya boros air. Ini juga mungkin mustahil dilakukan para pejabat hari ini, yang bahkan memandikan mobil mewahnya dengan semprotan air deras dari selang PAM, menghujani taman yang berada di belakang rumah, atau boros luar biasa mengganti air di kolam renang seminggu dua kali. Bung Hatta, dalam hal ini tak hanya menunda konsumsi, tetapi juga menjaga konsumsi...


Ketiga, Bung Hatta dan Industri Mobil Ford. Agaknya kisah ini nyaris menjadi folkrole (cerita rakyat) dari orang-orang Minangkabau. Konon, si Bung pernah ditawari oleh produsen mobil Ford, untuk membangun jalan lintas se-Sumatera, dengan syarat produk-produk Ford bebas diperjualbelikan di Indonesia. Bung Hatta menolak, bukan karena tak butuh jalan, tetapi khawatir rakyatnya keranjingan mobil Ford ---sesuatu yang belum pantas saat itu. Poin ketiga ini memperlihatkan, tokoh nasional ini mengajak sesama rakyat menunda konsumsi (terhadap barang-barang mewah). Wallahu'alam.


Senarai petikan itu pasti terkesan ekstrim. Tetapi saripatinya tentu tidak. Bahwa perilaku menunda itu memang perlu. Terlebih bila berada dalam posisi menjaga keseimbangan. Puasa di Bulan Ramadhan secara persis menitahkan kita untuk menunda sementara nafsu-nafsu konsumsi dan pemuasan libido. Setidaknya untuk belasan jam di siang hari.


Tetapi untuk spirit tingkat dasar itupun alangkah sukarnya.


Lebih-lebih, Ramadhan sekarang ini hampir-hampir menjadi even tahunan, berbalik sebagai ajang gala belanja di berbagai sudut kota. Menjadi pendorong konsumsi di desa-desa. Dan pesta besar dari stasiun televisi beserta media massa lainnya. Kita tidak lagi menunda, tetapi bersegera!


Dulu hadir pameo dari Kyai Haji Zainuddin M.Z, tentang puasa dendam! Kira-kira maksudnya, menahan lapar dan haus di siang hari, untuk kemudian balas dendam di malam hari. Semua yang sebelumnya haram, lantas menjadi halal. Segala hidangan di meja makan terkuras tuntas. Tak ada hikmah bersabar dalam hal ini. Tetapi itu dulu, kini lebih parah. Kita bahkan tak bisa menunda konsumsi di siang hari.


Nafsu konsumtif dan perilaku eksploitatif dalam perilaku berpuasa kita sungguh-sungguh berada dalam ujian berat. Akar persoalannya adalah gaya hidup yang permisif, hedonis, dan serba boleh.


Anak-anak remaja memang berpuasa, tetapi menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar televisi atau media internet (main game, atau chatting). Mereka juga menonton bioskop, atau sembari belanja di Mall. Tak sedikit, ruas jalan tertentu menjadi arena balap tatkala Adzan Subuh berkumandang, atau malah di sore menjelang maghrib. Mereka menahan diri dari lapar dan dahaga, tetapi jebol dalam urusan hemat waktu serta berperilaku.


Ibu-Ibu rumah tangga mungkin sepemikiran dengan Sri Mulyani dan Bung Hatta, tentang menunda konsumsi itu. Tetapi mereka menjerit, karena harga Sembako melambung, dan daya beli yang rendah. Dalam hal ini, Ibu-Ibu mampu menunda konsumsi. Tetapi, mereka membongkar pertahanan diri untuk menjauh dari ghibah, pergosipan, sas-sus, dan tayangan-tayangan "non faktual" (dengan kemasan bagus bernama Infotainment). Sejatinya, penyakit ghibah memang bukan untuk ditunda, tetapi dalam konteks kesucian puasa, hal itupun tak mampu dihindari.


Dalam politik, komunikasi sosial, dan interaksi pergaulan sehari-hari, semuanya serba jauh dari konteks menunda atau menahan diri. Musababnya, lingkungan dan atmosfir sosial telah pekat dengan gaya hidup permisif, hedonis, dan serba boleh.


Itulah yang mengherankan. Bahwa harga sembako melonjak menjelang puasa. Bahwa pusat-pusat pertokoan berlomba perang diskon ---dan dijejali "jamaah al shopaholiciyah", bahwa televisi menguar-nguar lelucon konyol, bahwa The Show Must Go On... (semuanya berlangsung sama seperti hari-hari sebelumnya). Itulah pula yang memperkuat satu ajang bisnis, berbuka puasa di Mall.


Sekali lagi, pesan Bung Hatta, atau perhitungan dari Sri Mulyani, secara tegas membawa ajaran bahwa perilaku menunda itu sesungguhnya berfaedah. Lebih-lebih bila kemudian bertiwikrama menjadi spirit untuk upaya perbaikan seraya menguatkan disiplin. Tidak menunda untuk meledakkan keborosan secara berlipat-lipat.


Tetapi segalanya terlanjur bergulir. Negara menguras habis kekayaan negeri. Politisi mengeruk kantong kas negara. Dan rakyat berlomba-lomba menjadi konsumen agresif. Bila sudah begini, tak perlu jauh-jauh menelisik hikmah Ramadhan dalam perkara-perkara mulia. Karena untuk etape paling mendasar sekalipun, yaitu menahan diri, kita sudah keteteran.

1 komentar:

  1. benar sekali.. tapi siapa yg pedulikan itu..??
    ingin rasanya hidup dikeadaan seperti demikian.. Ya Robb tempatkan lah bung Hatta ditempat yg mulia disisi - MU

    BalasHapus