Minggu, Maret 29, 2009

Seseorang yang Kuncintai dengan Ganjil






Ternyata lebih mudah mencitai Allah, Rosul, dan ke-Islam-an, daripada mencintai yang lain-lain. Itu adalah Tausyiah yang aku dapatkan dari Aa Gym secara langsung. Aku terkesan. Selama political duty di Jatim ini, bertemu dengan Kyai-Kyai kharismatik, hanya Aa Gym yang pernyataannya menggetarkan kalbu. Narasumber lain, para Kyai itu, terlalu memuji-muji politisi. Tidak dengan Aa. Sekalipun para Anggota DPR, DPRD, ada di hadapan beliau. Enteng saja baginya memberi peringatan.

Sekali lagi: lebih berat mencintai manusia. Termasuk mencintai orang-orang yang pernah aku cintai.

Mencintai Allah melentingkan daya dan kemampuan. Menyapu kotoran di hati dan otak. Gerakan segenap raga kita juga kian segar ---manakala aktivitas Sholat makin intens, disiplin beribadah terukur jelas. Bangun subuh, sholat dhuja, berliaturahmi, mencari nafkah, tersenyum ramah pada orang lain.... Itu sangat tidak cukup mendeskripsikan gejala Cinta Allah....

Lebih penting pula, perubahan diri kala cinta Allah bersifat anti munafik, mengalir apa adanya. Berjalan dalam pematang kejujuran.


Lalu bagaimana dengan mencintai Manusia....?

Aku adalah 1 dari sekian juta manusia yang pernah terperosok oleh cinta ganjil ---terhadap seorang perempuan, yang dimataku serba super: cerdas, cantik, ramah, segala yang dia miliki adalah mutiara di mataku.


Tetapi bukannya mengejar ---kata lagu dangdut: menyeberangi laut, mendaki gunung, diguyur hujan deras!--- aku malah mengkerut dalam melankolia. Cinta menghalilintar di setiap pergeseran waktu. Ada tidak ada, dengar tidak dengar, orang yang kudamba itu merampas seluruh ruang sisa di batok memori. Sungguh seperti Sishipus dalam mitologi Yunani, dikutuk para dewa untuk mendorong batu ke puncak bukit, lalu digelontorkan lagi ke jurang ---untuk diangkat lagi ke atas. Begitu berulang-ulang. Jika kepanjangan, padat katanya begini: tersiksa lahir - batin. Berulang-ulang terus....

Jika ingat masa itu, terkadang rasa kesumat muncul, ingin balas. Padahal, satu sen pun dia tak punya kesalahan. Lha, wong aku yang naif.

Barangkali penyebabnya berlapis-lapis. Faktor tunggal dan menjalar ke keseluruhan sebab, adalah performa ---fisik, aura, intelektual, jiwa. Orang bilang, tampangku hanya mampu menyelamatkan orang dari rasa takut, sedikit lebih baik dibanding wajah seram! Sebagai lelaki, aku juga kemudian tidak punya nyali terhadap perempuan, yang terasah karena pengalaman. Begitupun dengan kecerdasan berkomunikasi, aku gagap terhadap wanita. Nihil dengan prestasi, kemampuan, dan sesuatu apa saja yang layak ditonjolkan. Itulah kompleksitas paling parah.

Anehnya di hadapan kawan-kawan aku bukan tipe orang minder. Kemungkinan mereka (sahabat-sahabatku) melihat aku penuh percaya diri. Kutu buku, terkenal karena rajin menulis, penyiar radio, instruktur yang menarik dalam pelatihan, dan segala macamnya. Tetapi percayalah, itu adalah kemunafikan yang menjadi modal aku bersembunyi.

Ingatan lain di saat "hari-hari yang parah" itu, adalah betapa buku justru membenamkan aku ke dasar liang.... Entah apa judulnya, yang jelas ada penjelasan terbaca tentang Cinta Platonik. Seorang pencinta yang kesenangannya hanya menghayal ---tentang kebahagiaan yang berhak diraih oleh person yang dicintai. Sontak perilaku cinta ganjil itu menggelayut kian berat. Setiap hari, aku membayangkan gadis yang aku sukai itu mendapat pacar sepadan. Harus sepuluh poin lebih baik dari aku ---dari berbagai hal. Kalau bisa, saat itu, lelaki pendamping pujaan hatiku adalah kaya, pintar, tampan, muda, berani, sholeh, pokoknya segalanya. Sedangkan aku? Biarlah menikmati tangisan yang tersedak. Sewaktu-waktu, aku ketagihan menangis di balik bantal.

Kini belasan tahun terlewati. Dia yang kusayangi itu melesat dalam karir, dan entah apalagi hal-hal bagus berdatangan padanya. Ia kian cantik. Tulisan-tulisannya juga betul-betul "mahal" ---hingga heran, kenapa tak ada penerbit yang memburunya. Dari perspektif ini, aku adalah orang kalah yang benar. Memang aku kalah, waktu itu, kemarin, hari ini, dan tidak untuk besok. Tetapi aku mencintai dengan benar. Tak sampai mengganggunya. Tak sampai mengatakan apapun terhadapnya. Tak sampai, tak melakukan apapun terhadapnya. Kecuali memimpikannya. Ya Allah, berikanlah ia selalu kebahagiaan... Aku tahu, dia orang baik, dan Engkau pasti memberinya pendamping yang (ter)baik pula. Amien.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar