Selasa, Agustus 11, 2009

Curahan Hatiku, Indah....


Aku punya kawan sesama Staf Ahli, namanya Indah, dari Fraksi PBR. Dia pernah meminta aku menceritakan mengapa aku berhenti. Inilah ---setelah sekian lama sengaja aku tunda--- cerita aku yang sebenarnya.

Sekitaran dua bulan lalu, aku sempat berjanji mengirim e-mail, menceritakan perihal “selesainya” ikatan kerja, antara aku dengan Bos. Jauh di dalam hati, ini agak berat kuceritakan. Lantaran di situ tersimpan rupa-rupa perasaan. Marah ---karena semua berakhir seperti ini, tapi juga kadang besyukur (karena aku bisa lepas dari beban yang tak ringan). Belum lagi bila harus bertutur tentang kesedihan, kecewa, merasa terhina, dan banyak yang lainnya.

Tapi ternyata aku tidak setegar besi baja. Emosi yang menggelegak dalam kalbu rupanya butuh ”penyaluran”, tentu dengan cara-cara yang patut. Beberapa detik paska bersalaman dengan bos yang menandai berhentinya hubungan kerja, pikiran langsung terfokus pada satu arah: tak boleh ada dendam! Harus selesai baik-baik, dan hadapi dengan ksatria. Pontang-panting kuselamatkan keyakinan ini. Bila muncul pikiran-pikiran buruk, segera kuenyahkan. Begitupun tatkala kesedihan melanda atas nasib buruk yang terjadi, buru-buru aku lawan dengan doa dan mohon ampunan Allah.

Maka begitu aku kepikiran untuk menuliskan kepada kamu, Indah, adalah dalam rangka membuang segala unek-unek. Aku yakin, cara ini sungguh perlu. Tinimbang berkoar-koar ke banyak orang dan membuka aib sendiri, lebih baik aku mencurahkan isi hati pada seseorang yang kupercaya. Lagipula, ini yang penting, aku anggap kamu ”anonim”. Artinya, kamu tidak punya kepentingan untuk prihatin, iba, atau apapun. Termasuk tak ada faedah pula bila Indah merembeskan ”kegundahan” diriku kepada siapapun. Justru aku berani bercerita kepada kamu lantaran satu hal: perkawanan kita selintas saja, selama periode kerja saja, dan orang-orang di sekitar kitapun masing-masing saling tak mengenal. Jadi aman lah....


Perlu Saluran
Ibarat saluran air got, terlalu lama menggenang akan hitam kotor, beda kalau tersalur dengan baik. Inilah nawaitu surat ini kepadamu. Biarlah rasa benci, jengkel, marah, kecewa, kesumat, kubuang jauh-jauh. Asal tidak merugikan siapapun juga. Termasuk kamupun, bila memang tak merasa perlu membaca ini, boleh di delete saja.

Tak Adil
Aku mulai dari ujung yang terjauh. Ketika sekitar 2,5 tahun lalu bekerja dengan dia. Saat itu belum ada status Staf Ahli Anggota, baru Asisten Pribadi. Aku ambil itu, karena ada perjanjian lisan, bahwa dari dia akan memberi 2 juta rupiah per bulan, dan tambahan lainnya secara tetap (padahal saat itu gaji Asisten Pribadi yang lain adalah 2,8). Ternyata tidak, per bulan aku hanya dapat Rp. 2 juta rupiah. Terkadang dan sesekali saja dia memberi tambahan ---itupun kalau aku membuat pekerjaan tambahan untuk kepentingannya.

Berlanjut. Di saat rekrutmen Staf Ahli, aku tak menikmati sebagai mana kawan-kawan lain. Aku hanya mendapat Rp. 5 juta per bulan (padahal kawan-kawan lain dapat 6,9 dan terakhir dapat Rp. 7,2). Saat jadi Asisten Pribadi aku tak terima penuh, begitupun waktu menjadi Staf Ahli.

Alasan dia sungguh hebat, katanya buat cadangan agenda bolak-balik kampanye di Dapil, kalau tak terpakai, bisa dikembalikan. Ini tak terbukti. (Lagipula, aneh, kampanye itu kan untuk kepentingan dia, masa harus menggunakan uang yang mestinya menjadi hak aku).

Kenapa aku terima?
Kawan-kawan lumayan banyak, di DPR atau DPD, di Partai, atau di LSM sekalipun. Kuncinya, agar bisa terus berinteraksi dengan mereka, adalah stay di Jakarta. Jadi berapapun gaji aku di ”si bos”, yang penting bisa survive. Uang tambahan kukebut dari siapa saja. Membuatkan buku. Menuliskan artikel. Bikin makalah orang. Mengerjakan tugas kuliah. Sampai membuatkan TASKAP (sejenis karya tulis untuk Mahasiswa Lemhanas) dan Tesis pun aku sanggupi. Nah, itulah yang membuat aku bertahan.

Lalu, begitu perbaikan penghasilan, jadi Rp. 5 juta sebulan, ini sungguh meringankan. Tak lagi pusing dengan dapur keluarga. Meskipun penghasilan itu tak seberapa dibanding kawan-kawan yang lain, bahkan mereka bekerja cukup santai. Tidak seperti aku, yang ke mana-mana harus menemani si bos. Termasuk bolak-balik ke Jawa Timur.

Ini yang sungguh berat. Aku sudah kenal karakter dan kelicikan dia. Begitu agenda kampanye tiba, dia meminta aku konsentrasi di Jawa Timur. Aku dengan berani menyanggupi, dengan permohonan agar gaji aku yang 5 juta langsung ditransfer ke isteri. Dia setuju.

Benar-benar nekat. Aku berprinsip biarlah jatuh bangun di tempat orang, yang penting anak dan isteri selamat. Malu sesungguhnya kalau harus diceritakan. Seorang pengatur kampanye, penanggung jawab dan pemikir, tak punya uang lebih, sekedar untuk merokok saja. Pulsa meminta, makan meminta. Kawan-kawan di daerah juga sering heran, kok aku yang bertugas sebagai orang utama malah miskin banget. Bodo amat....

Pernah Berjanji

Sekali lagi, ada perkara yang membuat aku bertahan. Dia memang tempramental, kalau marah, segala hal dilontarkan. Satu yang terngiang-ngiang dan membuat aku tertantang. Dia mengakui aku pintar, cerdas, konsepnya bagus, dan terpakai. Tetapi, kata dia, hanya untuk di DPR, belum tentu cocok untuk di lapangan (maksudnya untuk kemenangan dia di Daerah Pemilihan). Lantaran emosi, aku membuat sumpah dihadapannya. (Dia pikir aku bloon, tak tahu pertarungan politik, dan tak bisa beroperasi dalam memenangkan Pemilu).

Pak, aku bilang, saya akan buktikan. Bapak akan menang di Pemilu, dengan suara terbanyak dari calon legislatif lain.

Saat itu bahkan aku menjadi sumber ”kejengkelan” tim lain, yang menjadi penjilat untuk bos. Kawan-kawan dengan enteng mengumbar janji, bahwa suara si bos bakal mencapai 200 ribu atau 300 ribu suara. Sementara aku bertahan, kataku hanya 60-70 ribu suara saja! Sampai 3 hari menjelang pemilihan umum, di saat evaluasi besar seluruh tim, aku dipersalahkan dan dihujat. Katanya tak loyal. Meski malu, jengkel, sedih, aku tetap bertahan denan angka ini. Dan, Allah Maha Kuasa. Perkiraanku ternyata meleset... tapi hanya sedikit. Data akhir KPU menyebutkan, perolehan suara si Bos adalah 72 ribu suara (2 ribu lebih dari selisih yang aku prediksikan). Dan teramat jauh dari ”bualan” para penjilat di Tim Sukses kami, yang meramal angka 200 ribu-300 ribu suara!

Sebenarnya bukan cuma aku yang berjanji. Tapi juga dia. Demi Allah, dia pernah menjanjikan Balckberry, Umroh, dan uang puluhan juta. Meskipun aku tak percaya (dan benar, tak sepeserpun dia buktikan janjinya itu), aku diam saja. Dia mengatakan akan membelikan ini dan itu, meberi uang segini dan segitu. Berjuang dululah, Endi, nanti buat kamu saya kasih. Begitulah yang diucapkan. Dan, anehnya, dia secara bangga mengungkapkan janji itu kepada banyak orang. Baik di acara informal, maupun yang lebih formal. Tak heran, ketika dinyatakan menang, aku matikan saja HP, lantaran tak sedikit yang minta ditraktir ini dan itu.

Paska Pemilu
Di blog aku, www.endibiaro.blogspot.com sering aku meringis dan menjeritkan kekesalan karena pekerjaan yang melelahkan ---disertai hujatan dan hinaan. Saat itu, rasanya, ingin segera berakhir. Dan seperjalanan waktu, semua itu tiba. Aku balik lagi ke Senayan dengan membawa kemenangan.

Selesaikah? Tidak. Bekerja siang dan malam mendampingi bos terus berlanjut. Kebetulan, Anggota Komisi V termasuk bos aku, harus segera menyelesaikan RUU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sebenarnya ini adalah pesta pora bagi anggota dewan. Tak sedikit kucuran uang, dalam bentuk sogokan, amplop, salam tempel dan sejenisnya. Begitupun Staf Ahli. Mereka juga kebagian. Aku pun, sesungguhnya, dapat bagian juga. Tapi semua diambil olehnya. Termasuk Laptop yang sebenarnya dibelikan untuk aku.

Pengabdian aku bukan hanya menguap ke udara, tapi berbalas racun. Uang tak dikasih, hadiah tak ada, bahkan yang menjadi hak akupun diambil. Aku tak kuat.

Berhenti
Puncaknya adalah awal Juni. Karena kelelahan, duit hampir habis, aku segera mengambil Slip Gaji di kantor, untuk ditandatangani bos ---dan mencairkannya ke kas Sekjen.

Aku mencari bos ke mana-mana. Tak bertemu. HP-nya tak aktif. Atas pertolongan pembantu di rumah bos, aku datang ke hotel, tempat bos berada. Begitu bertemu dan menyodorkan slip gaji, ia terkesan marah. Segera ia teken kertas yang aku sodorkan. Sembari menyerahkan kembali ke aku, dia berkata pedas. Lu itu Endi, kalau soal duit aja ngejar-ngejar gua....

Deg... Degup jantung seperti tertabrak kereta listrik.

Kejam betul perkataannya. Aku yang siang malam, pontang-panting menyukseskan pencalegannya di Pemilu, lantas membantunya menjadi ”orang terhormat” dalam pembahasan Undang Undang LLAJ, malah diberi gerutu tak berdasar. Ia sukses meraup uang banyak dalam agenda itu. Dan aku bahkan tak sanggup bayar ongkos taksi.

Bukankah aku tak meminta uang dari kantongnya sendiri, melainkan gaji dari Sekretariat Jenderal DPR RI, dan ia hanya membubuhkan paraf?

Sebagai lelaki, kutahan agar tak terlihat bermuka sedih. Aku pulang. Dengan tekad berkobar. Ini sudah keterlaluan. Dia tak melihat aku sebagai manusia yang bekerja. Esoknya, sengaja aku membuat berbagai kesalahan. Dan benar. Dia meminta aku berhenti. Kuterima dengan ikhlas. Biarlah semuanya berlalu. Seraya tak ada lagi beban, emosi, benci, dan dendam yang menyertai. Aku memohon pada Allah, agar aku diampuni atas segala kesalahan, termasuk juga kepada bos (karena aku juga sering bersalah). Begitupun kepadanya, hatiku terbuka. Tak ingin menyimpan bara kecewa. Begitulah, Indah....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar