Senin, Agustus 10, 2009

Noordin M Top dan Sense of Intelegence Kita


Orang-orang yang lupa terhadap peristiwa masa lalu, akan dikutuk untuk mengalami hal yang sama di kemudian hari (George Santayana).

KEMAMPUAN
telik-sandi, sandhiyudha, intelejen, benar-benar diuji keampuhannya dalam menggulung orang-orang sejenis Noordina M Top, Mubarok, dan konco-konconya. Kegagalan akan berarti kehancuran. Sebab hanya butuh 100 gram saja adonan posfor, belerang, posfor dan sejenis detonator, dari tangan kotor para teroris, mampu meluluhlantakkan sebuah bangunan, mengubur siapa dan apa pun yang ada di dalamnya. Bila mau jujur, merebaknya gerak para teroris terutama tidak datang dari kelihaian operasi dan kecerdikan mereka, melainkan juga lantaran kelemahan kita. Kelemahan dalam aktivitas yang punya sebutan gagah: operasi intelejen.

Dan jangan canggung menuding jari telunjuk ke satu arah: misalnya mencibir kemampuan polisi ---sebagai pranata pemegang otoritas keamanan domestik, sekaligus menguasai monopoli kekerasan senjata plus intelejen terlembaga. Agar di saat bersamaan ada empat jemari lain yang mengarah tepat ke muka kita. Artinya, polisi tak sendirian. Banyak pihak bersalah, patut introspeksi diri, dan paling pantas yang pertama-tama di interogasi adalah kita sendiri, warga negara (biasa) di Indonesia.

Mengapa?
Daratan Indonesia memang tak kurang luas dari rentang spasial dari Inggris ke Perancis sekaligus. Ribuan pulau sambung menyambung (75 ribu pulau), dengan populasi yang begitu besar dan heterogen. Sebuah komposisi demografik yang sulit terjangkau oleh deteksi intelejen secanggih apapun. Mau tak mau, strategi keamanan kita membutuhkan konsep totalitas, pertahanan semesta. Rakyat dan warga negara adalah mata rantai penting yang harus terlibat.

Senyatanya, praksis intelejen memang meletakkan fungsi rakyat dalam batas yang jelas: sebagai narasumber informasi (sources). Benar, ada otoritas lain yang lebih sahih berperan, mulai dari organisasi, operator, infrastruktur, sampai monopoli atas perangkat intelejen (sebutlan, misalnya, BIN, atau unit ”mata-mata” lainnya yang dimiliki oleh TNI, POLRI, atau bahkan badan imigrasi).

Tetapi angka 200-an juta penduduk bukan jumlah main-main, lebih-lebih dengan sebaran yang maha luas. Tak bakal terlayani oleh state aparatus (aparat negara) yang jumlahnya jomplang. Teoritis, jumlah keseluruhan TNI/ POLRI hanya sekian digit saja dari angka di awal paragraf itu. Fakta ini mestinya menggiring pada kesimpulan mudah: negara ini butuh partisipasi publik, dalam urusan intelejen!

Namun jangan buru-buru membayangkan lahirnya rezim paranoid yang meletakan operasi intelejen sebagai pekerjaan utama. Kita tak menginginkan institusi semodel STASSI (Jerman era Hitler), MOSSAD (Israel) di negeri ini ---di mana setiap orang adalah mata-mata bagi individu lain). Melainkan, justru, menumbuhkan sense of intellegency warga negara. Mendidik kita semua untuk sadar, waspada, sekurangnya terhadap lingkungan sekitar. Minimal menggerakkan partisipasi publik untuk terlibat dalam sistem deteksi dini (early detections) dan peringatan dini (early warning). Menciptakan ruang gerak yang sempit bagi beredarnya manusia-manusia peneror, bisa dilakukan bila rumusan itu dilakukan.

Tetapi Tidak

Dari siaran televisi, banyak adegan yang mempertontonkan bahwa masyarakat kita memang lugu dalam hal kewaspadaan keamanan (security sense). Di Dusun Beji, Desa Kedu, Temanggung, tempat pengepungan teroris, muncul ragam pengakuan warga, yang sama sekali tidak mengetahui aktivitas seorang bernama Mudhori, pemilik rumah yang diserbu Densus 88. Padahal, tiga tahun lalu, anak lelaki Mudhori yang bernama Tatak diciduk polisi, karena keterkaitan dengan organisasi teroris. Bisa dibayangkan, di lokasi pedesaan yang guyub, akrab, interaksi intens, dan terbuka silaturahmi, aktivitas terorisme tidak terendus. Ada apa dengan penduduk kita?

Betapapun canggih bergerak di bawah tanah (klandestein), teroris itu butuh mobilitas, logistik, dan fasilitas penunjang gerak (minimal kendaraan, perangkat telekomunikasi). Tak mungkin mereka berdiam seperti pertapa. Sudah pasti, mestinya, ada sejumlah informasi yang terlihat atau terpantau. Bahkan sekalipun di perkotaan ---yang penduduknya cuek dengan keadaan sekeliling— mestinya sesuatu yang ”ganjil” dari satu dua penghuni harus terlacak.

Patut kita bongkar wacana bahwa gerak teroris seperti hantu! Ini kebohongan paling tak berdasar. Mereka bertindak berdasarkan suatu pola, dalam organisasi, butuh kontak, memakai fasilitas yang terlihat mata telanjang (entah kendaraan, entah HP, atau laptop sekalipun). Lagipula, sejumlah bukti telah menjelaskan, mereka beredar tidak di pulau-pulau luar yang jauh dari akses ke Jakarta. Lokasinya tak jauh dari Jawa Tengah, Jawa Barat dan Banten. Karena sasaran mereka juga adalah Jakarta, jantung kehidupan republik ini. Andai saja publik memiliki sense of intellegence yang memadai, teror tak akan mudah meledak.


Rekomendasi
Mulai dari titik paling dasar, bahwa setiap kepala di republik ini terdokumentasi dalam arsip pemerintah, sekecil apapun itu. Entah dalam Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, atau Surat Izin Mengemudi. Inilah sumber informasi primer. Praksis intelejen juga terbantu oleh data-data ”administratif sipil” ini. Pendidikan sadar intelejen harus meyakinkan aparat pemerintah di level paling ujung (misalnya aparat desa dan kelurahan) untuk hati-hati dan tidak memalsukan dokumen ini.

Putaran berikut adalah warga biasa yang tidak berurusan dengan arsipasi. Tetapi punya kontak sosial dan bergumul dengan hidup sehari-hari. Lewat tayangan media, mereka mungkin tahu ciri-ciri, pola, karakter dan tindak-tanduk para peserta aksi teror. Informasi inilah yang harus disosialisasikan kepada semua warga. Pekerjaan ini bukan perkara mustahil, sebab organisasi non negara sekalipun telah mentradisi di masyarakat kita, mulai dari organisasi keagamaan, sosial, kepemudaan, sekolah, atau bahkan arisan ibu-ibu. Belum lagi bila didukung oleh negara, dengan perangkat yang tersedia, sampai ke tingkat desa/kelurahan, RW, hingga RT.

Inilah yang abai dilakukan. Penyebarluasan informasi tentang perburuan terorisme berhenti sebagai urusan kepolisian, menyebar pamflet, menjanjikan hadiah besar bagi informasi tentang orang-orang yang diburu. Terkesan sporadis dan temporal. Dengan objek tunggal bernama orang-orang tertentu, lengkap dengan sketsa wajah teroris.

Kita butuh jauh lebih banyak. Kampanye publik tentang metode, pola, karakter, dan bahkan kalau perlu jaringan terorisme, harus benar-benar gencar dilakukan. Dan tidak memakai ritme lagu dangdut, kencang di saat tertentu dan kendur di saat yang lain. Diseminasi, penyadaran tentang bahaya terorisme termasuk ikhtiar penanggulangannnya, adalah sama perlunya dengan pendidikan sosial lainnya. Karena kita tak ingin kejadian seperti ini terulang terus di lain waktu.

Catatan akhir. Menyedihkan bila adegan teror di televisi itu nyaris menjelma sebagai showbiz, seperti liputan ekslusif dari beberapa stasiun televisi. Orang melihatnya sebagai tontonan yang tidak berbahaya. Kemudian lupa setelah ada peristiwa lain yang lebih dramatis! Kelak, jika bangsa ini lupa terhadap bahaya terorisme, kita akan mengalami nasehat dari Santayana: orang yang melupakan peristiwa masa lalu, akan dikutuk mengalami hal yang sama....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar