Selasa, Agustus 04, 2009

Merah Putih di Silicon Valley














Pidato kenegaraan Presiden SBY, tak menyebut secuil pun nota APBN untuk pengembangan perangkat teknologi informasi....



CANDI Borobudur sudah lama tidak masuk dalam tujuh keajaiban dunia. Kemegahan masa lalu itu rupanya tak lagi memenuhi standar “keajaiban” dalam perspektif warga dunia hari ini. Lalu rakyat di jazirah nusantara pun kian sulit menemukan mahakarya yang membuat kepala tegak. Dibanggakan karena memang patut, di benak milyaran kepala lain di mayapada.

Dunia bergerak membangun kebanggaan-kebanggan baru. Dengan bangunan “menunjang” langit seperti El Burj di Dubai ---atau malah Menara Kembar Petronas di Malaysia. Itupun bila sebuah mahakarya adalah sesuatu yang berbentuk wujud fisik, lengkap dengan formulasi “ter” (terbesar, termoderen, tertinggi, dan...silahkan tambah daftar sendiri). Okelah bila di situ kita tertinggal, mungkin serentetan pledoi (pembelaan) bisa berlahiran. Asal tidak dengan ungakapan klise berbungkus “keimanan”: salah satu tanda kiamat adalah ketika orang-orang berlomba membangun gedung-gedung tinggi!!!

Duhai dunia juga berderak sibuk dengan perancangan-perancangan non fisik, tetapi memuaskan potensi kemanusiaan kita yang paling mahal (yaitu akal budi). Agaknya naluri purba untuk semata membuat benda wadag (fisik) bukan ukuran tunggal dalam kemajuan. Sungguh-sungguh lepas dari kebudayaan mitos-pagan-feodal, ketika penghuni bumi ini menemukan keasyikan dalam ranah maya, komputer, internet, cyber, jaringan telekomunikasi nirkabel. Begitulah makna kecanggihan dan keajaiban yang sedang kita tunggu (karena bangsa lain yang mengerjakan).

Seperti itulah yang berkembang di Bangalore India, Shenzen China, Puterajaya Malaysia, Silicon Valley Amerika. Ribuan insinyur terlibat. Didukung kebijakan para politisi cerdas, pemegang kendali militer, ekonom, futurolog, pebisnis kaya, berperan saling menguatkan. Bekerja untuk kejayaan negeri masing-masing.

Entah seperti apakah mereka merumuskan (atau justru sudah menyelesaikan) perkara kemiskinan, korupsi, utang luar negeri, dan ancaman separatisme. Menanggapinya sebagai masa lalu, atau menyerahkan kepada negara-negara bangkrut atau setengah bangkrut yang berada di dunia ketiga. Seolah-olah hukum perubahan nasib tak terjadi untuk dua kutub perbedaan antar negara. Bangsa-bangsa maju terus melaju, sementara negara-negara terbelakang terus berkubang dalam kemiskinan.


Ketika kiblat kemajuan teknologi informasi tak lagi beralamat tunggal: bukan hanya ke Amerika, melainkan juga ke Asia (diwakili oleh China, India, Malaysia, dan Singapura), kita seperti tak kebagian apa-apa. Proliferasi (penyebaran) benih-benih kemajuan, yang berserak di kelas menengah, para pekerja profesional, dikampus, di lembaga riset dan penelitian, sebagaimana terjadi di tiga negara Asia tersebut, nyaris tak bisa kita ikuti. Berputar-putar terus sebagai konsumen.


Keajaiban Kita
Mungkin segera kita menjadi penikmat, atas suatu inovasi dan produk-produk menggetarkan olahan para profesional di pusat-pusat teknologi informasi dunia. Syukur-syukur bila berjuang dalam pemanfaatan positif. Karena sebagai user sekalipun, banyak dari kita lebih sering menggunakan perangkat teknologi canggih untuk kemudharatan.

Seperti anak-anak sekolah yang berselancar di internet untuk menemukan foto telanjang Miyabi, Tiffany Taylor, atau Asia Carrera. Seperti teroris yang memanfaatkan kecanggihan cybernatic untuk mengirim pesan-pesan mematikan dan meledakkan hotel. Seperti para hacker yang mengganggu jairingan data milik pihak lain.

Sebagai komunitas bangsa, tak punya kebanggaan atas lomba kemajuan teknologi informasi juga berbentuk fatal. Seolah negeri ini tak punya bakat untuk melahirkan manusia-manusia cerdas. Dan negara tak pernah punya program jelas. Ujungnya adalah membenamkan kita pada kompleks inferioritas, tak punya wibawa, harkat, dan harga diri.

Padahal sebagai satuan orang per orang, tak sedikit tenaga-tenaga Indonesia yang berbuat lebih dahsyat (jauh mengungguli pesaing-pesaingnya di negara lain). Tapi mereka tidak berbuah di negeri sendiri, karena ditarik-tarik oleh budaya korup, feodal, serakah, oleh sesama saudaranya. Jauh lebih aman bagi mereka mencurah kemampuan di negara lain. Praktek brain drain, pembajakan para profesional, dan kaburnya orang-orang hebat ke luar negeri akhirnya lumrah belaka.

Harus Bangga
Sudah selesai jauh-jauh hari, bahwa apapun “hujan batu” di negeri ini siap kita tadah. Nasionalisme yang susah payah dikokohkan, tak boleh roboh hanya karena kita belum siap bertarung di perang cyber.

Tetapi masalahnya adalah hingga hari ini tak pernah ada isu besar, kegelisahan keras, dan suara-suara menuntut, agar segera kita masuk arena kompetisi. Sepertinya semua itu tak penting, bukan prioritas.

Orang lebih hiruk pikuk dengan angka DPT (bahkan menentukan prosentasenya saja butuh debat sengit). Publik tergiring opininya pada isu terorisme atau naiknya harga beras. Di pihak lain, jutaan orang pasif dan menunggu gaji tetap per bulan dari uang negara, sama sekali tak bisa diajak memikirkan potensi kedigdayaan republik.

Tak ada yang menolak bahwa urusan kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, bencana, dan terorisme adalah penting. Tetapi bukan berarti perkara-perkara itu menjerumuskan dan membuat kita jumud. Seraya menenggelamkan kemampuan pihak lain yang tak berurusan dengan itu, katakanlah mereka warga Indonesia alumni Harvard, MIT, Sorborne, dan kampus-kampus berbasis teknologi kelas dunia.

Harus ada pihak yang melanjutkan “percobaan” Habibie, ketika IPTN berhasil membuat Pesawat CN 135 yang bisa terbang tanpa kabel, Fly by wire. Sejatinya kita butuh komunitas, individu, atau apa saja yang bisa “mengerek rasa bangga dan percaya diri”. Mungkin juga kepada para olahragawan, pemenang olimpiade fisika dan matematika, atau bahkan pecatur sekelas Grand Master.

Lalu keberhasilan atau eksperimen yang pasti dianggap gempita (sensasional, kolosal, bemodal besar) itupun pasti melahirkan kontroversi ---sama persis dengan Habibie dulu. Dianggap belum waktunya, pemborosan! Bahkan ada budayawan yang mengatakan bahwa bangsa ini lebih cocok melahirkan sebanyak mungkin sastrawan.

Catatan Akhir
Segera mungkin temukan rasa bangga dengan makna yang penuh, bukan manipulatif. Sejatinya itu lahir dari olah kekuatan akal budi masyarakat. Waktu masih tersedia, dan perjalanan belum berakhir. Meski tertinggal, kita tak perlu pasrah di belakang. Hari inipun banyak bukti bahwa manusia-manusia Indonesia tak sedikit berotak brilian. Sementara sebagian besar kita sebaiknya berposisi jelas: mendukung, memberikan kesempatan yang fair.

Sudah puluhan tahun kita warga negara kebanyakan, memberi mandat kepada manusia-manusia politisi pembual, pelanggar HAM, para pejabat korup, untuk mengibarkan Merah Putih di persada dunia. Tapi bukannya berkibar, merah putih malah menjadi penanda untuk segala yang menyedihkan. Negeri ini bukan hanya miskin, tapi juga jatuh martabat oleh utang, oleh teroris, oleh koruptor. Saatnya Merah Putih berkibar di Silicon Valley, yang terletak di sebuah daerah di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar