Selasa, Agustus 11, 2009

Khawatirkah Dengan Ramadhan Kita?


SEDARI mula Nabi mengingatkan bahwa diantara orang-orang yang berpuasa banyak diantaranya yang tak mendapatkan apa-apa, kecuali lapar dan haus.

Kecuali anak-anak yang sedang belajar menghayati salah satu praktek amaliah ke-Islam-an di Bulan Puasa ini, mereka itu sudah cukup nilai kebaikannya dengan tidak makan dan minum seharian. Bagian penting yang memupuk kemampuan ber-Ramadhan kelak di kemudian hari.

Mesti ada garis tegas sebagai pembeda kualitas puasa anak-anak dan kita. Maka merugilah bila shaum semata-mata berhenti sebagai ritual menahan masuknya makanan dan minuman ke dalam tubuh, tak beranjak dari fase childhood itu.

Malahan kata “menahan” itupun lebih pantas diganti dengan kata “menunda”.

Alangkah gampangnya bila begitu. Menunda waktu makan siang untuk kemudian melahap habis sajian di atas meja makan di malam hari. Mengalihkan waktu coffee break di café-café nyaman yang biasanya berlangsung pas jam istirahat kantor ke jam 19.30 lebih sedikit ---karena butuh waktu berpuluh menit untuk berbuka, saking kuatnya pemenuhan dahaga lapar seharian. Barangkali tubuh pun mendadak enggan mengikuti panggilan muazin di Masjid sebelah rumah.

Bahwa tak ada yang meragukan kita semua, di tingkat tertentu amaliah Ramadhan sebenarnya menghimpun rupa-rupa kebajikan. Pantas saja dalam firmanNYA, Allah menjamin bahwa (tidak seperti ibadah yang lain), puasa benar-benar untuk Allah. Puasa hambaKu itu untuk Aku, kata Allah. Hanya kata wallahu’alam yang pantas disebut, jika membayangkan ukuran balasan seperti apa yang akan dianugerahkan, karena garansinya langsung dari Sang Khalik.

Kalau begitu ada pengharapan yang boleh kita kejar. Sebagaimana Imam Al Ghazali meggolongkan tipologi orang-orang yang berpuasa ke dalam tingkatan Khawasul-Khawas, Khawas, dan Awam, itu berarti kualitas berpuasa sungguh unlimited. Tinggal mengukur sampai di mana kemampuan diri, sekaligus bagian mana yang layak kita ikhtiarkan. Agar tidak jatuh pada pilihan mudharat, tak mendapat apapun dari Bulan Suci ini.


Posisi Awam
Namun bila pancaindera diaktifkan seawas mungkin, agaknya tak berlebihan bila disepakati akan seperti apa kualitas kebanyakan kita dalam berpuasa. Berada dalam kategori orang-orang awam sekalipun mungkin sudah cukup bagus. Mendapatkan pahala sesuai dengan landasan syariah yang menetapkan larangan dan anjuran tertentu selama puasa. Artinya, sebagai ummat kebanyakan, di situlah posisi kita.

Lagipula, bagaimana batin dan kalbu yang tersaput banyak dosa dapat mengetahui rahasia ketinggian-keutamaan puasanya para Khawasul Khawas itu?

Telinga kita masih mengakrabi bisikan-bisikan was-was dan syak, lisan bertutur di arena ghibah atau ucapan-ucapan tak berguna (sembari sadar atau tidak membiarkan semuanya masuk dan mempengaruhi hati). Dua butir mata masih mudah jatuh pada objek-objek yang “mengasyikan”, padahal menurut nasehat para Sufi dari memandanglah kemudian lahir angan-angan (impian-impian, khayal, dan lagi-lagi melupakanNYA). Entah aktivitas seperti apa lagi yang tetap dilakukan selama kita berpuasa, oleh tangan, kaki, dan organ-organ tubuh kita yang lain. Pintu kita tutup dari kudapan dan air yang segar, tapi panca indera yang lain tak berhenti dengan aneka keasyikan lahiriah.


Pantas Khawatir
Sekitar empat belas jam terhitung dari ujung sahur (Imsyak) hingga ke waktu berbuka, bukanlah periode yang mudah untuk lolos dari kepungan hasrat materliastis-hedonistik, pun di saat kita berpuasa. Bersabar dari dahaga dan perut keroncongan mungkin kita mampu. Belum tentu untuk perkara lain, mengingat kitapun tetap bersama pikiran, nafsu, dan emosionalitas dalam diri. Semua itu tak bisa ditanggalkan seraya diletakkan di tempat lain selama ibadah Ramadhan. Ke manapun kita melangkah, hal-hal itupun terus ikut serta.

Termasuk di dalam Mall, ketika pikiran tak tahan membayangkan kenikmatan segala rupa benda. Begitupun nafsu, yang menggelegak untuk membeli apapun yang tengah gencar diiklankan media massa. Sementara emosionalitas kitapun seringkali mudah terhentak oleh berbagai peristiwa menjengkelkan di sekitaran. (Ban kempes saja membuat kita bersungut-sungut, padahal orang lain kantongnya yang kempes).

Pertanyaan berikutnya yang pantas diajukan adalah seberapa mampu olah batin-rasa-nurani kita bila menangkap keprihatinan hidup di sekeliling. Misalnya ribuan pengemis (musiman) yang berbondong menyerbu Jakarta di saat-saat menjelang lebaran? Terhadap mereka yang papa, tebas oleh kekerasan Ibukota?

Atau justru menikmati Ramadhan dalam sisi ritus yang semarak, gebyar, demonstratif karena kerjasama saling menguntungkan antara industri fashion-food-fun? Seperti yang beredar di televisi, mulai dari Quiz Ramadhan yang menggelikan karena disela polah komedian yang sama sekali tak mengandung hikmah! Atau tawaran baju-baju terbaru dari distro-outlet-hingga supermall di perkotaan.... Dan segala kesemarakan lainnya yang hanya memperlihatkan wajah konsumtif.

Sekali lagi, alangkah mudah berpuasa bila semata kita menjadi penikmat ”gaya hidup” khas Bulan Ramadhan. Tinggal menonton channel TV yang berlomba-lomba menayang program khusus. Mendengar lantunan mengasyikan album-album ”religus” via MP3. Cuma jalan-jalan ke Supermarket seraya menghabiskan waktu untuk berbuka di pojokan Pujasera. Berkeliling-keliling di toko buku dan buka-buka situs favorit di Internet. Atau tenggelam dalam urusan kerja-bisnis dengan nawaitu non Illahi ---tetapi kompensasi uang. Di saat jelang lebaran tambah heboh lagi, berburu koleksi busana terbaru! Pantaslah kalau kita (agak) khawatir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar