Senin, Agustus 03, 2009

Tentang si Sulung dan Bungsu....















Ada Iman terselamatkan ketika melihat anak-anakku. Mereka lucu-lucu. Putih, bersih, rambut hitam legam dan (Subhanallah) lurus. Secara fisik, mereka jauh dari postur aku, papahnya. Tetangga sering nyeletuk, kok, anakknya Bang Endi kayak Cina sih? Ini dialamatkan untuk si Bungsu, Ikhsan Yassien Fatihah.

Lain dengan Sulung, Alief Fadzjar Rachman. Banyak orang salah mengira, disangkanya dia perempuan. Padahal cowok tulen ---terutama dalam perilaku. Sekilas dia memang seperti anak cewek, putih, rambutnya lurus tergerai dan hitam pula, mata bagus, dan mukanya itu halus banget!

Benar. Tak berlebihan. Ini terutama bila orang ---bahkan aku sendiri--- melihat aku. Saking dalamnya ejekan, aku sudah hapal, kalau teman-teman bilang isteriku milih aku karena matanya sedang kelilipan.

Nah, begitu melihat mamahnya, urusan selesai. Oh, pantes. Mamahnya kan putih, kulitnya alus lagi. Syukur deh, kalau begitu.

Tetapi dengan mereka berdua, Alief dan Ikhsan, aku bisa bersenang-senang seharian. Mengajak mereka menggambar ---kebetulan aku hobi, dan termasuk lihai membuat gambar. Jalan-jalan ke sekeliling kampung (benar-benar kampung, ada kerbau, sawah, anak-anak bermain layangan, burung berteberangan, kuburan tua), bercerita, dan membuatkan mainan tradisional. Otak kreatif aku segera lahir dengan cerdas, bila bersama mereka berdua. Kubuatkan berbagai mainan. Bapaknya adalah anak kampung, hapal betul memanfaatkan bambu, sobekan kertas, lem, gunting, sandal bekas, jadi mobil-mobilan, helikopter, apa saja....



Nama Anak

Dari seorang Kyai di Probolinggo Jawa Timur, aku dapat pelajaran penting. Anak-anak, yang penting diajari dasar-dasar tauhid yang sederhana. Mulailah dari nama. Bilang sama anakmu, Nak, (jika hari sedang hujan) yang bikin hujan siapa? Emang siapa, Pah?...(kita jawab) Allah.

Aku memang bertekad, anak-anakku harus Islami dalam segala hal. Mulai dari nama. Aku ingat persis, ketika akan menikah, aku rajin tahajud. Minta petunjuk Allah, bahwa pernikahan ini adalah wasilah untuk menghindari keburukan-keburukan. Juga agar pilihan aku tidak salah.

Betapa hati tak was-was. Aku saat itu benar-benar payah. Keluarga isteri juga tidak berpunya. Singkatnya, hanya keyakinan pada Allah yang membuat aku berani mengambil keputusan.

Tentang nama anak-anak. Formulanya jelas: dari Al Quran. Menggunakan sejumlah nama surat dari Al Quran. Dan, kalau bisa, aku hapal surat-surat tersebut, bisa mendawamkannya, tanpa melihat mushaf.

Nama Alief Fadzjar Rachman, terdiri dari dua nama surat, masing-masing Ar Rahman dan Al Fajar. Sementara huruf alief digunakan sebagai awal dari kalimat pembuka Al Quran di kurang lebih 18 ayat. Banyak tafsir yang menyebutkan rahasia penggunaan huruf alief di awal surah. Bukan di sini tempat pengungkapannya.

Dulu, sebelum menikah, aku hapal kedua surat itu. Kini, yang tersisa hanya surat Al Fadzjar. Sementara surat Ar Rahman paling hapal 10-an ayat. Tapi agaknya tak akan teralu sulit, karena surat itu sering aku baca juga.

Ikhsan Yassien Fatihah lain lagi. Sempat menimbulkan keributan dengan banyak pihak, dan anehnya aku berdiri sendirian melawan kubu yang tak mendukung. Tapi justru keyakinan aku kian berkobar.

Pak Ustadz menyarankan agar aku mengalah, kompromi agar salah satu suku kata dari tiga kata itu dibuang.

Orang tua geleng-geleng kepala.

Isteriku, ketakutan, mendengar omongan tetangga bahwa nama itu terlalu berat, akan membuat si anak sakit-sakitan dan nakal luar biasa.

Oh, ya. Sebetulnya aku mengalah juga. Awalnya, aku ingin nama Ikhlas Yassien Fatihah (klop, semuanya nama surat di Al Quran). Atas saran seorang kawan, kata Ikhlas diganti saja dengan Ikhsan, toh, sama Islaminya. Oke aja....

Ketakutan isteriku terbukti, bila pikiran kita memang setuju. Betul, anakku yang bungsu sering sakit. Benar, si "Cina montok" (Ikhsan memang gemuk, putih, dan matanya sipit) itu juga buaduuung... Tapi bukan berarti karena namanya terlalu berat ---seperti takhayul orang-orang tua kita dulu. Biasa saja. Itu cobaan dari Allah.


Sering Berjamaan

Paling aku rindui adalah ketika memandikan mereka sore hari. Lelah kejar-kejaran, karena melawan tak mau buka baju, atau masih keasyikan main sepeda. Mamahnya tak sanggup, cuma bisa teriak: Papaaaaah.... anak-anak tuh, mandiin!

Lalu mendandani mereka. Memakainak baju koko lengkap (alhamdulillah, isteri yang pintar menghabiskan duit suami di toko baju, inget juga dengan pakaian sholat itu), mengenakan kopiah. Siap... Langsung berangkat ke Mushola terdekat. Berjamaah. Termasuk (kadang-kadang) si Ikhsan yang masih kecil juga diajak ikutan. Dia sungguh berbeda dengan kakaknya. Ketika orang-orang shalat, dia cuma duduk, diam, dan tak mengganggu. Kalau si Alief kadang-kadang mengganggu juga.

Selama ini, Kakanya sering aku ajak ke Masjid untuk sholat Jumat. Kalau si bungsu, baru dua kali. Kasihan, karena biasanya siang terik. Meski bawa motor, dia sering kelelahan dan tertidur....

Ya Allah, aku tahu firmanMU, anak, isteri kadang menjadi cobaan. Kuatkan dan jadikan selalu mereka penguat Imanku.

Rabbana, hoblana, minadjwadjien qurrota ayunin wadjalna lil muttaqiena imaman....Amien....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar