Rabu, Agustus 05, 2009

Kebebasan Pribadi Versus Kebebasan Televisi


Kahlil Gibran: Jika kau menceritakan rahasia kepada burung, maka burung berkicau kepada pohon, pohon mengabarkan pada angin, dan angin menghembuskannya ke seluruh dunia. Tapi hari ini orang dengan sengaja mempertontonkan aib isteri, suami, dan anak, kepada jutaan pemirsa reality show di televisi. Puisi Gibran yang harus kita cabut, atau memang rasa malu kita yang sudah tercerabut?

Klaim kebebasan individual dan menghilangnya batas-batas pembendung informasi, tak lagi cukup menjelaskan betapa merasuknya tradisi tontonan vulgar di televisi kita.
Sejumlah realitiy show ---kemungkinan akan segera booming, dibuntuti oleh program-program sejenis di stasiun televisi yang belum menayangkan--- meyakinkan kita bahwa benteng terakhir kehormatan individual akan segera bongkar. Tergilas atas nama komersialisas tontonan. Gagasan mulia yang mendasari filosofi kebebasan, bahwa hakikat kebebasan berada dalam batas kepentingan orang lain dan kebebasan yang bertanggungjawab, lepas sudah.

Hari ini bisa saja kita membuat kredo baru: batas kebebasan hanyalah urusan mau atau tidak mau, dan laku atau tidak laku. Melulu perkara komoditas ekonomi. Bila anda mau rahasia pribadi dijual dan disantap orang di mana-mana (sambil santai di rumah, ditemani pacar atau anak isteri), maka itu sah-sah saja. Hukum kebebasan televisi membuktikan hal itu.

Kita sedang berbicara acara sejenis Curhat, yang dibawakan Anjasmara, di salah satu stasiun televisi swasta. Program ini membawa arus baru, bahwa tontonan tak lagi terpatok pada kreasi gagasan, lelucon sumir, pesona kecantikan, kemegahan dekor, atau kehangatan sebuah isu. Tidak.

Sumber isu di program ini bisa benar-benar klasik dan kuno: perceraian, perselingkuhan, atawa cinta segitiga. Tak ada pula kemegahan panggung dengan kehadiran bintang seksi yang kinclong. Nihil komedi dan canda segar. Melulu yang menjadi sumber pikat adalah “keberanian” mengumbar rasa malu. Inilah kekuatan jualannya: menelanjangi diri persis untuk setiap televisi di rumah-rumah penduduk.


Terus Menggali
Sebelumnya kita mengenal formulasi tontonan yang hati-hati, bertahap, dan mengandalkan daya pikat ---entah fisik, kecerdasan, atau ketololan sekalipun. Tapi hukum kompetisi memaksa aturan berubah. Kecantikan diganti kecantikan, rasanya biasa-biasa saja, tanpa nilai gugah plus miskin daya kejut. Kecerdasan juga tak berarti apa-apa ketika retorika selesai di panggung debat talkshow. Begitupun lawakan, yang saking banyaknya hadir (dengan frekuensi tinggi), membua kita kesulitan tertawa.

Langkah terobosan ---bila sepakat menggunakan kata itu--- terus bergulir. Pekerja kreatif di belakang studio TV atau Production House, mungkin telah lama melipat rumusan etika dan norma kepatutan di dalam koper mereka di rumah. Tantangannya hanya satu: desain program yang layak jual. Urusan mencari bantal argumentasi ketika produknya dibombardir kemarahan publik, adalah bagian belakangan. Toh, tak sulit mencari pengacara yang bisa membela.

Sulit untuk menyalahkan kultur media seperti ini. Celah terbuka untuk memahami apa yang sedang terjadi adalah membersihkan cermin kemanusiaan kita yang telah lama tersaput debu.

Teori ekonomi mengenal hukum Gossen (bir di gelas pertama tak terasa apa-apa, baru tercicip nikmat setelah menenggak gelas berikutnya). Dari anak kecil juga ada pelajaran sempurna: tak pernah puas dengan satu mainan, butuh lebih banyak, lebih variatif. Penikmatan atas suguhan terhadap mengumbar kesenangan sepenuh-penuhnya (full pleasure) inilah yang digali, terus digali produsen acara “media pandang dengar” itu.

Tersumbatnya Saluran
Wajah lain yang termanifestasikan dalam Program Curhat dan sejenisnya, justru bersumber dari kegagalan kita sebagai masyarakat penonton sekaligus sebagai insan politik di negara demokrasi, dalam menyelesaikan masalah individual, melalui prosedur rasional, adil dan konsultatif.

Mestinya, sesama insan (sekaligus sebagai penonton dan sebagai warga negara), tumbuh kepercayaan terhadap solidaritas, kebersamaan, dan melembagakan penyelesaian masalah melalui institusi-institusi publik. Transaksi kerjasama yang terjadi, dalam memecahkan masalah, berlangsung dalam ruang-ruang pembelajaran, saling menguatkan, serta dalam posisi sejajar.

Orang kemudian lari terhadap acara televisi. Baik yang punya masalah secara sungguh-sungguh, maupun menjadikan tontonan sebagai pengisi waktu.

Jauh sebelum ini, kita mengenal institusi-institusi yang terikat norma, dalam menyalurkan kegelisahan publik, baik dalam masalah privat (seperti perceraian, perselingkuhan, atau cinta segitiga, yang banyak ditayang di acara sejenis itu). Ada lembaga agama, institusi keluarga, psikolog, ataupun solidaritas perkawanan. Hari ini, nampaknya semua metode itu menjadi pilihan untuk ditinggalkan. Mereka lari, menyerahkan kepada lembaga media. Barangkali untuk pelampiasan, atau sekalian mencari uang bayaran.

Efek Demonstratif
Memang tersedia bantahan, bahwa di negara yang perangkat sosialnya kuat, mampu membereskan persoalan publik dan privat, toh, acara sejenis tetap laku. Alasan ini paralel belaka dengan jenis-jenis suguhan lain. Tetapi kita lupa, bahwa tradisi penonton di barat (sebagai kiblat televisi) telah tumbuh sejak lama. Pemirsa di sana bukan sejenis gerombolan yang kagetan. Kritisme dan kemampuan “saring media” telah mengakar. Mereka juga punya budaya tanding, atau setidaknya aktivitas lain agar tidak digiring oleh efek tontonan yang memabukkan.

Lain dengan kita. Berbagai riset belakangan ini menemukan bahwa struktur dan tipologi penonton kita benar-benar tumpul daya kritisnya. Menonton benar-benar untuk menonton. Lebih-lebih, puluhan juta dari penikmat televisi itu tak punya wacana tanding, tak ada budaya sibuk, dan berleha-leha dengan tontonan.

Kondisi ini menyimpan lebih besar potensi untuk menguntungkan etos komersialisasi media, tinimbang berpotensi melakukan pencerahan. Susah memang, jika ada perlawanan dari komunitas yang kritis terhadap suguhan televisi, akan mudah dipatahkan dengan (cukup) satu dokumen, bernama: ratting. Kebenaran dalam program televisi, pada akhirnya, memang ditentukan oleh seberapa banyak program itu ditonton! Lalu kita hanya bergumam tidak tahu, kapan fenomena ini berubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar