Rabu, Agustus 05, 2009

Kebanggaan Terhadap Kawan-Kawan Lama


Saat ini saya dengan sebenar-benarnya membanggakan kawan-kawan lama (di jaringan Facebook).Tolong kobarkan rasa percaya diri saya. Barangkali tidak dengan cara merepotkan. Cukup dengan menjaga perkawanan dan tali silaturahmi. Guna membuktikan bahwa saya agak layak dikawani.


Suara muadzin baru lepas mengumandangkan panggilan Ashar. Seorang sanak ---sebetulnya kerabat dekat--- datang bersilaturahmi. Ia memang sudah lama dirindukan.

Dulu, saat bujangan dan mengenal kenakalan khas anak muda kampung, saya begitu akrab dengannya. Boleh dibilang, di masa itu dia adalah suhu. Di mana penghormatan peer group (perkawanan anak-anak sebaya) ternisbat kepadanya. Tak perlu repot menjelaskan: anak muda kagum dengan seseorang karena seseorang itu lebih nekat, lebih berani, lebih kurang ajar dari yang lain. Begitulah sepenggal tipe tamu sore hari itu.

Biasa-biasa saja pertemuan itu. Justru terpetik pengakuan menganggetkan ketika kami akan berpisah. Sebulir air matanya tampak melebur di ujung mata.
“Kenapa?” tanyaku.

Jawabannya sederhana: gue sedih En, kamu kok sampai harus memandikan anakmu sendiri. Pakein bedak, pakeinbaju...

Saya tak bisa berpikir cepat. Mengapa dia harus bersedih, padahal saya suka dengan “pekerjaan” itu. Kalau di rumah, dua orang bocah lelaki adalah kawan karib. Mereka diajak bermain. Bersepeda, jalan-jalan di pematang sawah. Main layangan ---terkadang mengejar layangan putus. Kalau sudah cuaaaapek ambil kertas dan pinsil, menggambar objek apa saja yang mereka ributkan. Si Sulung minta: Papah, gambarin mobil balap, ya? Si Bungsu, karena belum lancar ngomong, cuek saja! Kemampuannya baru sebatas merobek kertas atau melempar crayon punya kakak.

Saya melakoni dengan lumayan gembira, paling kurang itu bisa mengalihkan dari pikiran berat yang kadang menggelayut.

Tapi sekali lagi, tamu di awal sore itu kok malah nelangsa melihat saya dan anak-anak....

Berikutnya menderas pengakuan panjang. Menurutnya, yang membuat ia prihatin adalah kondisi saya. Baginya tak patut, saya yang (pernah) bekerja di Jakarta, Staf Ahli DPR, suka muncul di koran, hobi internetan, sering terbang ke sana-sini, terlihat payah seperti sekarang ini.

Oh, jadi yang ia lihat adalah kondisi saya ---dan mungkin juga keluarga. Kalau soal itu, bisa jadi ia bersedih. Harap diingat, cerita ini ada di kampung. Tak banyak yang bekerja (pakai sepatu disemir, sempat menyemprotkan parfum) di Jakarta, dan di DPR lagi. Bayangannya adalah saya harus terlihat “kota”. Bukan mandiin anak....

Secara keseluruhan kondisi saya memang (agak) menyedihkan. Maaf, ini bukan perkara buka aib seraya melanggar wibawa serta privasi diri. Melainkan menguak makna persepsi. Si kawan punya perspesi lain (maka ia menangis), sementara saya malah nyantai saja.

Persepsi juga bisa melampaui fakta. Faktanya saya tak bekerja. Bisa dilihat dari urusan dapur yang membuat was-was. Faktanya saya tak punya prestasi apa-apa. Faktanya hidup apa adanya. Jauh dari lelucon ini: apa adanya mobil, apa adanya rumah megah, apa adanya deposito. Faktanya pula, kuliah seperti mobil angkot sampai di terminal ---tak bisa lebih jauh lagi, harus segera parkir. Tapi toh, alam kesadaran saya berani melawan, tak boleh kalah! Masih ada kesempatan.

Sebenarnya Bersedih
Sebenarnya sih, saya bersedih. Cuma tidak permanen, sesekali saja. Lagipula rasa itu bukan karena melihat ke dalam rumah. Justru ketika kepala mendongak ke luar.
Adalah kemunculan kawan-kawan yang berserakan di aneka profesi, di berbagai tempat, dalam rupa-rupa bidang kehidupan. Perasaan itu bukan sebentuk dengki (hasud), terperangkap amarah agar pencapaian dan prestasi kawan-kawan hilang.

Mungkin lengkapnya adalah bersedih sekaligus bangga. Buktinya batin sekali dua berbisik: Endi, kamu harus bisa seperti itu.

Pilihan saya memang terbatas dalam soal ini. Cukup dengan mengikuti nasehat Nabi: bergaul dengan pandai besi terkena panas, bergaul dengan penjual parfum terpercik wangi. Saya ingin menjaga silaturahmi dengan kawan-kawan (di jaringan Facebook), adalah dalam rangka itu. Siapa tahu menguatkan tekad dan menemukan inspirasi dari anda semua.

Untuk Menyebut
Dua kata, bersedih dan bangga, rupanya harus dilengkapi dengan istilah ini: bersyukur.

Betapa bersyukur punya masa lalu yang menghasilkan “jalur” perkawanan dengan orang-orang yang (menurut ukuran saya) hebat. Bukankah kalau saya tidak di Manado, saya tak kenal anda semua, dan tak mudah mengontak anda menjadi karib?

Saya bayangkan Dokter Taufieq Passiak, penulis buku laku, dan orang sezaman beliau yang kini di Amerika (Ka Coen Pontoh). Mengingat Rodli Kaelani, Ketua Umum PB PMII, mengenang mereka yang kuliah di luar negeri (seperti rekan Iqbal Makmur). Juga pegiat LSM yang wara-wiri ke negeri sono (seperti Irman Meilandi atau Lita Mamonto). Beberapa dari kolega malah merangkap jadi dosen di kota “A” sekaligus mahasiswa paska sarjana di kampus lain (Beby Banteng dan Amier Arham). Tak terhitung kolega yang mengabdi sebagai birokrat, atau profesional di BUMN (seperti Ka Mustafa As’ad).

Sedih, bangga, bersyukur itu berlanjut untuk sejumlah nama lain.

Ada yang sudah menjadi diplomat di Timor Leste (Blessy Sipir), praktisi PR di Newmont (Pretty Mamonto), anggota DPRD Provinsi (Sofyan Al Hadar), merintis karir di KPU (Anto Martham, Rusli Djalil dan Veryanto Madjowa), jadi orang bank (Ka Dian dan Linda Tilamuhu), wartawan (buaaanyak, Lestari Sinaga di Trans TV, misalnya). Kayaknya tak ada yang “menganggur” seperti saya.

Biar tidak menjadi artikel kosong, izinkan saya mengajukan semacam pengharapan: bolehkah saya tetap bersitatap muka dengan anda, at least in cybernetic network, especially with facebook? Siapa tahu berfaedah….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar