Minggu, April 05, 2009

Hati Adalah Kunci

Terpaksa harus selalu membuat perbandingan, antara dulu, sekarang, dan apa yang aku inginkan kelak. Rasanya, perjalanan dalam hidupku yang paling tersia, adalah justru pada 10 tahun terakhir ini (dari 1999-2009). Satu dekade itu, peristiwa tergetir selalu mampir. Lalu ada satu yang mengherankan, justru 5 tahunan sebelum itu, malahan menjadi kenangan paling manis. Kalau hitung mundur, mungkin antara 1999 ke 1994. Menjadi penulis terkenal, orator dalam demonstrasi, aktivis paling berani, pembicara paling disukai, ada dalam diriku. Namaku beredar di komunitas aktivis.

Setelah itu lenyap. Berkelindan dengan kegagalan dan keruwetan. Pertama-tama yang rasanya teramat pahit adalah menghadapi kenyataan betapa tidak berharganya aku di Jakarta. Padahal kalau bertarung soal kemampuan, kelasku tak beda jauh dengan mereka. Tersuruk-suruk mencari pekerjaan. Kesulitan memperoleh penghasilan. Jadi penganggur. Nongkrong dan kebingungan di kampung.

Mencari pelampiasan, akhirnya adalah jalan keluar yang meskipun aku tolak secara batin, tetapi lahirku melakoni (dengan intens, dan tak peduli harga diri). Jika didaftar, perilaku aku yang tak patut di kala itu, benar-benar membuat malu.... Kawan-kawanku sesama aktivis, pasti akan bertanya-tanya: kenapa dengan Endi?

Walau begitu, satu dua kebaikan masih erat melekat. Misalnya: tetap rajin membaca. Walau berubah haluan. Dulu ke buku-buku politik, saati 1999-2002, bergeser ke buku-buku agama. Lantas kerap juga mencoba praktekkan. Dengan rajin tahajud, membaca Al Quran, dzikir, dan sesekali berpuasa. Dalam keadaan paling jatuh sekalipun, aku memang berkeyakinan bahwa Islam adalah paling benar. Kemampuan intelektualitasku selalu tak beranjak dari keyakinan itu.

Lantas ada periode balik ke Manado. Yaitu dari Tahun 2002 sampai dengan awal 2004. Gelora lama bangkit. Kembali menjadi penulis. Bergiat di LSM, dan memperoleh penghasilan pasti. Terpenting adalah memasuki kembali komunitas lama: dengan kawan-kawan mahasiswa, bersama bergumul dengan aktivis Pers dan Jurnalis. Tapi kali ini dengan warna baru. Yakni hobi bermain bilyar dan nongkrong bersama. Sepetik nikmat lama, tereguk kembali saat itu.

Sebenarnya aku tak ingin bertutur kronologis. Tapi, toh, perlu.

Ada saat istimewa juga menyela. Tepat di Tahun 2004, mengalami bekerja enak, banyak uang, bergelimang fasilitas. Tentu saja juga mulai bermain perempuan. Padahal, saat itu aku sudah menikah. Barangkali itu menjadi antiklimaks. Tak lama manisnya momen itu berlangsung. Bulan-bulan berikutnya, nestapa bersusulan. Tahun 2005 total adalah vivero percoloso (kata Bung Karno, alias tahun-tahun perih). Jika mengampil padanan (kesamaan dalam konsep, bukan kualitas), adalah aumul huzn, tahun-tahun terberat dalam perjuangan Nabi Muhammad SAW.

Dalam etape penggalan perjalanan, selalu berulang proses yang mirip, yaitu kesadaran akan Allah, kerinduan untuk Sholat (diiringi dengan aktivitas sunnah yang lain), juga kehendak untuk melanjutkan tradisi intelektual.

Kini, semuanya berada dalam kerumitan. Dulu, meski pedih nestapa, aku masih punya harga diri. Tidak memiliki ketakutan berlebih. Hanya Allah yang kutakuti.... Kini, Ya Allah, ampuni aku.... Engkaulah yang Maha Rahman. Engkau tahu, setiap doaku adalah ketundukkan. Penghinaan diri dan sujud sembahku, hanya kepadaMU. Tidak untuk yang lain. Tolonglah, aku Ya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar