Senin, April 20, 2009

Tersungkur di Tahajud Getas...

Tersungkur di tahajud getas. Aku tak merasakan leleh bulir air di sudut mata. Hatiku memang jatuh dalam kepasrahan. Jiwa raga bergetar menahan isak. Tetapi tidak penuh. Sebongkah perasaan tak nyaman bergelayut. Tadi malam aku bersimpuh di keheningan malamMU, Ya Rabb. Dengan perasaan getas, kering, hambar.... Hanya pengharapan yang tetap melambung. Moga Engkau dengan Maha Rahman tak terhitung, menerima laku sembahku.


Resiko bertindak keliru di hari siang yang kita jalani memang berpengaruh terhadap aktivitas penyembahan di malam sunyi. Dalil ini kira-kira pernah kubaca entah di buku apa ---nasihat seorang sufi yang tekun sholat malam. Sedangkan yang kulakukan malam itu, hanya beberapa ratus detik saja dari saat ketika sajadah kuhamparkan. Teramat dekat. Meski tekad kubulatkan untuk melawan bisikan sesat ---bahwa percuma sholat, tak akan diterima--- tetap saja selaksa penyesalan menggelayut resah. Perlawanan tetap berkobar. Bersuci... Bahwa inilah kesempatan yang telah diberikan. Belum tentu hari esok bisa bersua.

Pola Pengulangan
Kekuatan utama yang menggerojok dalam kalbu bersandar pada satu prinsip. Pengulangan dan pengulangan. Ukuran keberhasilan amaliah malam mungkin terkesan saru, tak ada parameter ajeg yang bisa kita telusur, keculali bahwa kita merasaka kepuasan batin. Pun dengan seberapa besar nilai pahala yang Allah berikan, hanya Dia yang Maha Tahu. Jadi, malam itu ---ketika aku tersungkur di Tahadjud--- biarlah menjadi salah satu fase dalam putaran pengulangan-pengulangan. Menjadi sebentuk pembiasaan diri. Agar jiwa raga berada dalam satu bio ritme yang jelas. Mudah-mudahan menjadi kegiatan yang tidak memberatkan, bila memang aku berhasil merutinkan.

Justru di situlah permasalahannya. Berat sekali. Alih-alih menjadi pembiasaan diri, aku bahkan melewati hening malam dengan perilaku ngelantur, tak jelas ujung pangkal.

Jika percaya pada teori perubahan melalui proses, segala yang sanggup aku lakukan itu hanya berada pada tangga paling dasar, start awal! Orang lain sudah mencapai maqom terbaik, membekas dalam akhlak keseharian mereka. Sedangkan aku? Tetap bersikutat di posisi yang itu-itu juga. Ada memang selentik perbaikan. Semisal kemauan untuk membaca literatur-literatur tentang Qiyamul Lail. Meringankan laku shodaqoh, biar kecil tapi sering. Tambahan lain, menyelipkan sholat maghrib berjamaah ---bersama anakku, si Alief. Sebisa mungkin ---ini yang agak membahagiakan--- menjaga silaturahim dengan siapapun (tetangga, kawan, yang jauh ataupun dekat). Dorongan lain yang kuharap bisa menjadi energi bantu, adalah membaca Al Quran. Itulah pusaran awal menuju Tahadjud.

Jerit Bergema
Keyakinan bukan lahir dari tangan seorang pandai besi. Dengan wujud kaku, keras, tahan banting. Keyakinan bisa teramat lembek, tapi di saat lain bisa meluruhkan batu gunung. Aku ingin merawat keyakinan bahwa Allah sumber pengharapan terbaik sekuat-kuatnya. Apa-apa yang Allah perintahkan ---melalui Al Quran, Syiar Baginda Nabi, dan Tausyiah Para Ulama--- adalah piranti yang harus kumuliki. Pasti tak akan mudah mempelajari dan mempraktekan itu semua. Bermacam-macam rintangan dan godaan datang susul menyusul.

Insya Allah, dengan sejumlah sumber daya yang kumiliki jalan menuju penyerahan diri itu terbuka lebar. Mudah-mudahan aku segera masuk dalam track yang benar, on the right track. Biar segera kerinduan yang lama mengobrak-abrik batin segera tergapai. Menuju jiwa yang tenang, perilaku mulia, amaliah bermanfaat, serta rezeki barokah. Lebih baik aku tertatih-tatih di Jalan-MU, ya Allah, daripada membanting tulang di luar syariahMU. Lagipula, tak pernah kuperoleh apapun, selain kehinaan dan kedengkian, ketika bergumul dengan pengharapan palsu. Sejauh ini aku melewati alur yang keliru. Bekerja keras mencari uang, dengan jalan apapun. Tetapi uang tak dapat, energi terkuras, intelektualitas terlempar, dan kesedihan tanpa ujung. Ya Allah, jangan biarkan aku terinjak di nasib buruk... Aku tak memiliki kualitas kesempurnaan iman untuk menanggung kemalangan semacam itu. Hingga hari ini, belum kujemput hikmah atas keburukan-keburukan yang hampir dalam hidupku.

Biarkan keheningan malam menjemput jiwa ragaku, dengan hati bening, meletakkan muka di sajadah yang terhampar. Memercikkan air jernih di waktu wudlu. Mendawamkan Al Quran dalam tegak menghadap kiblat. Aku rindu. Aku rindu, menggapai kenikmatan Tahadjud. Bantu aku, Ya Allah....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar