Kamis, April 02, 2009

Itiqad yang Terus Kurawat

Sebiji butir benih, diantara hamparan ladang, bisa saja mati tersia. Kalah tumbuh oleh taburan benih yang lain, meski hidup di gembur tanah yang sama, mendapat siraman sepadan, dan perawatan telaten dari Pak Tani. Selalu ada yang gagal. Begitulah hidup. Tetapi pedih jika kita yang harus menjadi bagian dari ketidakberhasilan itu.

Nestapa berlipat-lipat. Manakala melihat sesama kawan yang telah go show. Mereka bertebaran dalam aneka profesi. Berkibar dalam dunianya masing-masing. Tinggal aku tertinggal. Jauh...jauh...jauh.... (se-melankolis lantunan vocal Kaka Slank). Hatiku juga belum teguh berprinsip. Apakah aku akan kian terpuruk? Malahan salah satu kawan mengingatkan dengan joke segar: hidup itu berputar, Ndi, dan sekarang kamu lagi di atas, hati-hati, yang terjadi adalah lebih buruk lagi. Jadi keadaanku sekarang, adalah yang paling baik, karena segitu itu yang bisa diperoleh. Duh, serem. Seperti apa, ya? Padahal sekarang saja aku sudah sedemikian merana.

Tak tahu lagi. Sampai kapan mampu bertahan. Bergerak dari satu keluhan ke ratapan yang lain. Memukul harga kemanusiaanku. Sepertinya tak pernah aku menikmati profesi seperti yang dialami oleh kawan-kawan. Kehidupanku terasa berat. Mengeluh juga sudah capek. Keyakinan juga nyaris tergerus hancur. Hanya anak-anakku yang menyelamatkan Iman, bahwa Allah itu Maha Rahman. Posisi ini benar-benar setegar karang: bahwa Allah menitipkan anak-anak untuk kujaga dan kurawat dengan semampu daya. Tak boleh main-main. Jauhkan putus asa.

Butiran lain yang menopang buat berdiri, adalah cantolan beberapa bacaan Buku Islam. Sedikit, sesekali, menggeletarkan qolbu. Seraya membisikan niat: Ya Rahman, aku butuh kasih sayangMU... Tolong Aku.... Bantu Aku....

Bagaimanapun aku masih diberikan nafas bertahan. Itu artinya perjalanan belum tuntas. Rezeki aku belum hadis. Sebab pernah seorang Ulama di Kampungku mengatakan, Allah tak akan mencabut nyawa seseorang, sebelum jatah rezeki untuk kita dituntaskan. Juga menyembul kesadaran, bahwa Allah masih memberi waktu untuk ber-taubatan-nasuha. Olehnya, lisanku, hatiku, marak dengan dzikir dan permohonan ampun.

Juga selaksa doa-doa dari orang-orang yang masih mau memperhatikan aku. Dari isteriku. Dari kawan-kawan. Mudah-mudahan juga, Allah masih memberi kesempatan kepada aku untuk berbuat baik. Menanam kebaikan di mana-mana. Mengurangi keburukan. Menghindari nestapa. Meskipun beberapa hari terakhir ini aku goncang oleh perilaku dzholim, yang sulit aku hindari. Aku teraniaya lahir batin. Tak bisa melawan. Duh, isteri, anak-anakku. Aku bertahan benar-benar untuk kalian semua. Aku mencintai kalian semua. Semoga Allah membimbing keluarga kita. Alief, Ikhsan, Papa mencintai kamu semua. Maafkan kalau belum bisa berbuat apa-apa. Allah selalu memperhatikan kita semua. Semoga. Amien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar