Sabtu, April 11, 2009

Tersungkur di Ujung Lelah

Hatiku berserabutan dengan galau. Kecemasan bergulung-gulung, kusut masai bersama murka yang tak berujung. Perintah tak jelas diiringi muka cemberut, kesinisan dalam memberi petunjuk, dan langgam sok tahu dari seorang kawan, adalah hadiah kecut di pagi tadi.

Aku berangkat kerja dengan batin ribet. Riuh oleh perasaan ingin memberontak yang menggelegak. Tetapi, maaf saja, bukan dia referensi alamat untuk kubuang aneka kejengkelan. Sikap menyerangnya justru memerosokkan aku dalam kekalahan. Baiklah kutelan saja. Pedas... sayangnya tak bisa pupus oleh seteguk soda segar.

Tanggungjawab pekerjaanku boleh kata lepas selepas lepasnya.... Mirip kuda liar yang berjumpa dengan rumput savana. Hanya kelelahan sebagai pemagar. Berhenti di satu titik ketika segala daya dalam diri terkuras tuntas. Tetapi, ah, mengapa sekonyong ku ingat kuda liar sebagai perbandingan? Mungkin karena perasaan senasib. Aku merasa bisa melakukan ini dan itu. Tetapi, mitra kerja adalah orang-orang yang berdiri karena kedunguan dan keangkuhan. Sungguh bukan partner yang bagus untuk pekerjaan super banyak ini.

Muara dari kesemrawutan pekerjaan ini adalah aku. Pihak luar menyorot akulah sebagai think-tank, sebagai mindmaster otak intelektual dari operasi politik di Jawa Timur ini. Memang idealnya begitu. Strategi, konsep, bahkan praktek lapangan dan pemetaan masalah, bersumber dari aku. Tetapi banyak rencana aksi yang dianulir secara serampangan. Mestinya, agenda dan program kerja tersusun sistematis detail. Terukur dengan resiko, dampak, hasil, dan kemampuan anggaran. Semuanya bubrak! Roboh oleh sikap seolah-olah tahu. Padahal hanya tahu sedikit.

Kuuliangi lagi. Muara dari kesemrawutan ini adalah aku. Sebab aku yang menyusun sistem. Namun tak adil, rasanya, kalau penyebab tunggalnya adalah aku sendiri. Malah boleh dibilang, prosedur sudah siap sempurna. Tapi pelaksanaan diwarnai oleh perilaku picik. Orang banyak kemudian ---lagi-lagi---- melihat dan mengadukan masalahnya kepadaku. Aku hanya tergugu diam. Aku adalah manager tanpa otoritas. Hanya menyandang label, tetapi kewenanganku dikangkangi orang lain. Tak apalah bila hasilnya bagus. Sialnya, cuma berbuah kata-kata manis para penjilat.... Jauh fakta dari kata-kata. Ya Allah, mengapa Engkau pertemukan aku dengan orang-orang sejenis itu, yang sejak dulu adalah musuh beratku?

Tersungkur di ujung lelah. Begitulah panca daya kemanusiaanku tersuruk. Otak membal. Kecerdasan mental. Hati nurani banal.... Emosi menggumpal.... Fisik luruh oleh kepasrahan. Mungkin itu cara Allah memanggilku bersujud kepadanya. Kusambut panggilanMU, Ya Rabbi....

Baiklah.... sedaya upaya, aku akan menuntaskan amanat ini.
Baiklah.... berbekal Iman (sabar dan syukur), kujajal tantangan berat, sebagai amal ibadah.
Baiklah.... semuanya-semuanya, harus berakhir dengan kepasrahan kepada Allah. Amien....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar