Minggu, April 12, 2009

Meletup dalam Galau, Meringis Giris

Selisir perasaan giris merayap pelan di hati. Sesungguhnya ini bagian dari gumpalan gundah, juga rindu. Tiada kejelasan kapan pekerjaan akan selesai, merongrong konsentrasi aku satu dua hari ini. Malam-malam yang terlewati, tak pernah bersua dengan tidur nyaman. Di siang hari pun tersedak rindu ---ingin segera berlarian mengejar anakku yang bermain sepeda. Tapi rumah itu masih jauh.

Semuanya berpusar dalam tidak jelasnya ritme kerja. Aku seperti prajurit tolol yang di buang oleh komandan bengis di basis kekuatan musuh. Sendirian, minus persenjataan cukup. Hanya diteriaki dengan pesan-pesan kosong, sembari mendapat ancaman yang memuakkan. Semuanya hampa guna. Ketegaran hati melorot pelan. Kehilangan motivasi untuk berbagai hal. Lebih-lebih bila menghayalkan apa yang bisa orang lain peroleh, dengan beban kerja seperti aku. Giris membayangkan bahwa "pihak luar" menyangka aku mendapat setumpuk hadiah kemenangan. Padahal sama sekali nihil.

Pilihan menjadi plin-plan. Bertahan sejadi-jadinya, mau petir atau halilintar sekalipun tetap bergeming. Atau lari terbirit-birit sembari melempar serentetan sumpah serapah. Ada memang pilihan ----yang sejatinya---- bisa nyaman: menerima dengan lapang. Ya, itu pasti, membuka dada atas tekanan peristiwa. Bersabar atas kehendak Illahi. Sudahlah....

Akan tetapi punggung seperti renta digelayut malas. Terkikis rasanya selera untuk melangkah ke Masjid ---yang letaknya hanya sepelemparan batu, dari basecamp. Mata malahan menjadi pedas, hanya untuk membuka selembar dua mushaf kitab suci. Kalaupun ada amalan yang ringan saja berlangsung, melulu shodaqoh. Mudah-mudahan Allah meridhoi, seraya memberi bimbingan arah. Amien....

Kecamuk dalam benak selalu bersusul-susulan. Memikirkan adik yang nasibnya masih menggantung. Tentang isteri yang tabungannya menipis ---karena hingga detik ini, aku belum gajian, padahal kerjaku siang dan malam, tak kenal hari libur. Aku benar-benar bekerja dengan label mercedes, tatapi penghasilan gerobak sampah. Tereksploitasi oleh tiran politisi dungu ---produk demokrasi sekuler, yang diamini ratusan juta Muslim se-Nusantara. Sayangnya, ketergantungan terhadap "penghasilan tetap" itu masih terlampau tinggi. Allah belum memberi aku alternatif ----atau nurani sedemikian tumpul, dan kreativitas telah lama mandul.

Lebih dari segala-galanya adalah ini: respon para bos yang menjadi atasan. Sesungguhnya atasanku hanya satu. Tetapi karena sikap dia yang mengkerangkeng aku dengan penghinaan, maka orang lain jadi "turut" menikmati. Mirip dengan petuah Robespiere, bahwa puteri jelita sekalipun akan menjadi budak, bila diperlakukan seperti budak. Perlawanan aku adalah mempertahankan gagasan..., ya, dengan gagasan. Mereka, orang-orang fasik itu, adalah pengamen yang memukul-mukul biola ---karena tak punya kapasitas dan kemampuan. Kemampuannya sudah mentok di situ.

Mudah-mudahan pertahananku belum ke arah tubir jurang. Masih tersedia stok kesabaran dan rasa syukur. Mudah-mudahan juga Allah mengulurkan pertolongan. Tetapi jelas, sekelumit ikhtiar akan kuupayakan. Insya Allah besok pagi. Agar aku segera bisa berlari dengan anak-anakku. Berlari bermain sepeda. Berlari mengejar layangan. Juga berlari untuk merampas hak-hak yang wajib aku miliki. Untuk urusan ini, aku bersumpah tak akan pernah berkompromi. Bantu aku wahai zat yang Maha Kuasa.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar