Selasa, April 07, 2009

Menjadi Arang Yang Tak Terbuang..... Hatiku Harus Selalu Baik.....

Pernah suatu kali aku melihat arang lapuk, tergenang basah, diinjak disia-siakan. Alam kemudian memanggangnya tanpa ampun. Kerontang oleh sengat surya. Tetapi onggokan kayu sisa perapian itu justru mewujud kembali. Legam mengeras, siap untuk kembali berkarya. Tentu saja bermanfaat bagi anak-anak muda yang punya acara memanggang ikan, ayam, atau potongan daging kambing.

Potret keberdayaan, memang terserak di mana-mana. Sebenarnya sepadan dengan hukum energi. Tak ada energi yang habis, hanya berubah bentuk. Ukuran pemanfaatan energi sejatinya bukan terletak pada kuantitas, volume besar, atau fasilitas pembangkit yang mega-raksasa. Tidak. Energi semungil pemantik apipun, jauh lebih berguna. Tentu dalam kondisi dan kesempatan yang pas. Bukankah di saat kita ingin merokok, sepilah pentul korek lebih kita butuhkan dibanding kobaran api Gas dari kompor Rinnai?

Jadi jangan punahkan setitik apapun energi (potensi) diri. Volume energi di tubuh kita mungkin tak sekuat The Rock, yang bisa membanting dua tubuh tambun sekaligus, dalam World Wrestling, Wrestling, tayangan gulat di televisi ---dulu sangat digemari pemirsa Indonesia. Begitupun energi olah batin kita belum sesakti karomah para wali. Pun, permainan ilusi, pikiran, tak sedahsyat peragaan para mentalis sekelas Dedy Corbuzier.... Daftar kekurangan itu masih berderet-deret. Tetapi apa perlu dilisting? Kalau ujungnya malah membenamkan ke dasar lumpur semangat positif fighting kita?

Okelah. Bila konteksnya adalah koreksi evaluatif. Saya misalnya. Secara intelektual hanya satu strip lebih maju dari orang-orang buta hurup tak tamat SD. Tak ada produk berharga dari karya pemikiran saya. Begitu juga dengan "aura inner power", sebagai energi yang bisa memesonakan kharisma diri, menaklukkan rasa simpati orang. Perasaan, aura aku di bawah sedang, sangat payah. Kerap aku tak berhasil meraih simpati, baik privat maupun publik. Jangan bilang dengan energi fisik. Lari 10 meter sudah tersengal minta oksigen.

Nah, kini yang jadi harapan adalah energi dari hati. Selama ini kita menjadikan hati tidak sebagai apa-apa. Melainkan separuh ruang untuk menyimpan kejengkelan, dongkol, marah, suntuk, dan rupa-rupa syak wasangka. Kita lindungi hati dari taburan penyakit itu agar tak meledak menjadi fitnah, meruap dengan tindakan nan mencelakakakan. Dari batas norma umum, itu baik, atau malah cukup baik. Tetapi perlakuan seperti itu seperti menyimpan lilin dalam gua. Tak bisa ke luar memancar. Tak ada pula yang memanfaatkan. Bukankah mahluk hidup di gua pekat gelap tak butuh pelita? Di malam hari gulita, kelelawar bisa terbang meliuk-liuk bukan karena panduan penerangan. Melainkan karena ia bergerak oleh echosound, inderanya sangat tajam dalam mencandra getaran objek di sekelilingnya. Kelelawar melihat dengan suara....

Energi hati. Terpetak dalam lipatan-lipatan fungsi. Mengendapkan perasaan negatif (ketakutan, kecemasan, kemarahan, kebengisan). Menghidupkan harapan, asa, doa-doa, kehendak positif. Menggerakan itikad baik menjadi tindakan. Semisal hati kita hari ini ingin shodaqoh, silaturahmi, sujud, mengaji. Menebalkan keyakinan untuk bertahan, dari gempuran.

Energi hatiku tak akan habis.... Fisik, intelektual, aura, mungkin punyaku sangat drop. Tetapi hati tidak. Akan kutimbun dengan kebaikan-kebaikan. Kupupuk dengan amal-amal sholeh. Kusiram dengan hikmah-hikmah dan tausyiah. Kuperam dengan asmaMU, ya Allah.
Agar hatikku tak hancur dalam kegalauan.....
Agar hatiku tak pendar oleh racun keputusasaan....
Agar hatiku tak mati oleh iri dengki....
Agar hatiku tak perlaya oleh tipu daya....
Agar hatiku tak takut oleh Angkara-Ketakaburan-Kesombongan.....

Bantu Aku, Ya Robbi.... Melipatgandakan Energi Hati. Amien....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar