Jumat, April 03, 2009

Terbata Dalam Munajat


Diksi (pilihan kata) pertama, ketika menuliskan sesuatu, jadi gambaran samar tentang karakter. Orang-orang pesimis mungkin lebih akrab dengan peristilahan yang ngepas dengan kekalahan. Terbumbui dengan ungkapan-ungkapan kesah-keluh. Di beberapa bagian kalimatnya ----sangat mungkin--- juga berwarna kepasrahan telak. Rententan kata-kata ini adalah perwakilan nyata: aduh, ya Allah...., oh.... kok begini, kapan berakhir!

Diam-diam, aku amati kembali tulisan-tulisanku. Senyatanya bertabur dengan ungkapan sentimental orang-orang kalah. The looser millenia.... Bolehlah, barangkali, ini juga cermin terang tentang kondisi psikologisku saat ini. Dihempas kekerasan bertubi. Menghentak kejut oleh pusaran nasib. Sejatinya kegagalan-kekalahan-kepedihan menjadi sedemikian akrab. You Are What You Say.... Lantaran kata-kata adalah produk benak, mewakili persepsi kita terhadap apapun yang terjadi. Mudah-mudahan status ini tidak permanen. Aku ingin terlempar ke posisi nyaman. Perpindahan quadran, kata Robert T. Kiyoshaki.

Perpindahan quadran itulah perjalanan pilihan. Biarlah melaju pelan, namun fokus. Bertahan dengan sedaya upaya. Melalui doa, ikhtiar, tangis, munajat, dan berbuat baik (dalam ukuran syariah Islam). Dari kesekian pilihan untuk bangkit itu, aku terpesona dengan konsep munajat. Yaitu memohon dengan sungguh-sungguh. Kepada Allah, tentu saja.

Rinduku adalah bermunajat. Menangis, menghiba, memohon, menghinakan diri. Agar Allah mengampuni. Agar Allah memberi hikmah, kejelasan atas peristiwa yang kualami. Agar Allah memberi kesabaran. Agar Allah memperkaya kesadaran bersyukur. Anehya belum bisa juga. Terbentur oleh aneka gangguan. Entah dari perasaan kecewa berat. Marah. Dongkol. Merasa tersia-sia. Dan lebih sering oleh beratnya beban malas....

Bukannya tidak ada sama sekali bahan bakar untuk menegakkan munajat. Aku terdorong oleh cerita sukses sejawat-sejawat lama. Alhamdulillah.... kawan-kawan banyak yang maju. Studinya bagus, melanjutkan S2 di kampus-kampus ternama atau bahkan di luar negeri. Bekerja di bidang bergengsi. Punya karier bagus. Imbalan materi yang tinggi. Sedangkan aku: ternista dalam kedunguan-kedengkian-ketakaburan.

Pelecut lain yang kerap menggetarkan jiwa adalah ingatan akan nasib keluargaku. Anak-anakku dan isteriku. Pedih batin melihat mereka: rumah tak punya, mobil tak punya. Memang, sejujurnya, aku bersyukur dengan keadaan sekarang. Ada penghasilan pasti. Mencukupi untuk keluarga. Tapi agaknya (ini masalah hawa nafsu) masih kurang.

Lalu sisa-sisa cita-cita dan kehendak lama juga sesekali menyembul. Ingin menjadi intelektual, penulis buku laku, pembicara brilian. Atau sekalian saja menjadi politisi pasti (tidak ikut-ikutan doang). Toh, aku sudah berada dalam track yang benar. Bekerja di DPR RI. Meski kerap mendapat perlakuan menjengkelkan.

Terakhir, yang benar-benar kuat adalah membesihkan kalbu-hati-fisik-akhlak. Sungguh-sungguh aku ingin. Aku yakin Allah tak akan diam terhadap hambaNya yang sujud. Lagipula rasanya batin ini tak lagi bisa menerima faham-pemikiran apapun di luar syariahnya. Penuh dusta dan tidak kokoh. Lebih baik bersandar kepada tali Allah. Soal rezeki dan keinginan-keinginan, biarlah Allah yang mengatur. Dia maha tahu yang pantas kita peroleh (hari ini) dan ke depan nanti.

Bagaimana caranya ya Allah?
Aku tidak bisa setegar karang.....
Bolehkah menggunakan metode try and error? Efektif-kah bila dilakukan seperti itu....
Yang pasti, hingga detik ini, belum kehilangan asa untuk mencoba dan mencoba. Tolong bantu aku, Ya Allah. Permudah jalan hambaMU ini. Bantu aku dalam segala urusan. Jauhkan aku dari kekejian diri sendiri dan mahlukMU. Hindarkan aku dari segenap kedzholiman. Berkahi dan limpahi rezeki dan kasih sayangMU. Allah, ya Rahman, ya Rahiem....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar